Unreadable
Dalam dunia kedokteran, umumnya ruang operasi di set positive pressure alias tekanannya lebih tinggi dari luar agar tidak ada kontaminan masuk ke ruangan. Sehingga udara justru mengalir keluar dari ruang operasi, bukan ke dalam. Maka tak heran jika suhu di ruang operasi begitu rendah guna mendinginkan hingga densitas udaranya lebih tinggi daripada di luar ruangan.
Selain itu, udara ruang operasi yang dingin dibuat agar para staf medis tidak kegerahan karena mereka memakai baju berlapis-lapis ketika melakukan tindakan. Jika mereka merasa gerah, fokus mereka akan terganggu karena merasa tidak nyaman.
Dan di sini lah Arka masih berkutat, di bawah surgical light yang masih setia menyorot ke arah sayatan sepanjang tujuh centi di bawah perut kansn seorang laki-laki yang tak sadarkan diri.
Usus yang jadi sumber permasalahan sudah selesai diikat dan di potong, namun berhubung usus tersebut sudah pecah dan perlu dibersihkan menggunakan saline sebelum akhirnya dikeluarkan oleh alat sedot khusus bersama darah dan cairan bilasan.
Dua puluh menit kemudian barulah Arka menjauhkan tangannya dan menaruh stiches di atas wadah aluminium. Semua kontan bernapas lega, operasi telah selesai dengan baik.
"Dipantau ya tanda-tanda vitalnya sampai dua belas jam ke depan," ucap Arka. "Oh ya, agen anestesi tertentu biasanya bisa bikin depresi pernapasan jadi waspadai pernapasannya dangkal atau lambat."
Pesan Arka langsung diangguki oleh kedua perawat tersebut. Setelahnya ia berjalan menjauh untuk mensterilkan diri, dimulai dari melepas dan membuang glove yang bercorak merah darah lalu mencuci tangan menggunakan chlorhexidine 5% sebagai antiseptik tropikal kulit.
Tolong jangan bayangkan cuci tangan yang ia lakukan sama seperti hendak makan. Mencuci lengan saat hendak maupun selesai tindakan itu sama seperti ketika melakukan wudhu, mencuci hingga siku secara berulang-ulang hingga lima menit. Memang selama itu, karena lagi-lagi alasannya infeksi yang bisa timbul sebab adanya bakteri.
Saat ia hendak berganti pakaian di ruang semi steril, seorang temannya menepuk pelan bahunya.
"Kasus pasien tumor FAM udah dapat jadwal kamis depan. Dokter Maharani follow up-nya ke Anda. Soalnya beliau mau berangkat ke Yogya buat wisuda akbar subspesialis."
Arka agak pening mendengarnya. Kenapa sih bulan ini banyak jadwal yang tak terduga? Bukannya ia mengeluh pada pasien yang bertumpuk, tapi ia pusing mengatur jadwalnya sendiri.
"Gimana, Dok?" desaknya, tapi belum sempat dijawab oleh Arka, ia bicara lagi. "Tadinya beliau mau ngomong langsung, cuma saya bilang dokter lagi di OK. Jadi paling nanti dikontak langsung."
"Sekarang beliau masih jaga poli atau udah selesai?"
"Udah selesai jam 12 tadi. Langsung pulang sih tadi kayaknya sekitar jam satu."
Arka mengangguk paham. "Yasudah, nanti saya coba ketemu beliau dulu."
"Oh iya, Dok!" Perawat bernama Diaz itu kembali bicara. Arka yang hendak membuka baju sterilnya kembali menoleh dengan malas, biasanya kalau sudah diawali kalimat itu ia akan membawa berita lainnya.
"Itu di depan ada yang nunggu. Anak SMA. Siapa ya namanya? Arina? Ariana?" gumamnya di akhir kalimat saat lupa-lupa ingat.
Arka kaget mendengarnya. Ia tahu siapa yang dimaksud. Ya ampun, untuk apa sih anak itu datang kemari? Bukankah sudah ia katakan kalau tak bisa menjemputnya di GOR basket karena masih ada jam di sini?
Ia segera meninggalkan Diaz untuk berganti pakaian sebelum keluar memastikan. Dan benar saja, di antara beberapa kerabat keluarga yang sedang duduk menunggu, anak itu tertunduk sedang memainkan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]