Lima

2.6K 402 109
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Disaat kita hidup untuk membahagiakan orang lain, maka Allah SWT akan memberi kita Rizki, berupa orang yang akan membahagiakan kita.

Al Habib Umar Bin Hafidz

Hendak disebut kebetulan, rasanya kurang cocok. Karena sekecil apapun kejadian di muka bumi ini telah disusun rapi oleh Allah. Termasuk hari ini. Hulya bahkan tak menyadari siapa sosok teman Sania walaupun dalam perjalanan ke Bogor, ibu tirinya ini sudah memberikan sedikit banyak clue.

Mungkin tadi di perjalanan ia terlalu merasa bosan sehingga kurang teliti. Meski dalam hati Hulya enggan menerka-nerka atau ingin tahu lebih lanjut, namun Hulya masih tau etika. Ia tak memainkan ponsel atau fokus ke hal lain saat Sania asik bercerita, Hulya memasang ekspresi dan menjawab seadanya.

Ibunya bilang, jadilah pendengar yang baik untuk orang lain. Suatu hari kita pun butuh telinga orang lain. Hargai saja jika dengan bertukar bercerita bisa membahagiakan atau melegakan perasaan seseorang.

"Teman lama mama ini mau ngadain peresmian cabang kedai rotinya yang ketiga."

"Mama seneng banget dengernya. Secara cabang yang ada di Jakarta aja sekarang jadi favorit."

"Kadang mama suka minder. Padahal dia mantan perawat loh, tapi bisa menyelam di bisnis, belum lagi suaminya meninggal tiga tahun yang lalu, punya anak tiga. Dan kamu tau? Dia berhasil jalanin semua peran dengan baik."

Perempuan berkhimar putih di depan Hulya melempar senyum. Ya, hari ini adalah kedua kalinya Hulya bertemu Isma Maharani. Rasanya dunia sempit sekali.

"Ternyata dia anak kamu? Ya ampun San, baru aja beberapa hari yang lalu dia ke kedai buat wawancara."

Hulya maklum jika Isma tak mengenal dirinya sebagai anak Sania. Kedua wanita tersebut terus berbicara panjang lebar melepas rindu sebagai kawan lama. Pantas saja Sania memilih berangkat lebih awal meski acaranya mulai siang nanti.

"Oh ya? Anak kita satu kampus dong. Rendy semester berapa sekarang?"

"Enam. Satu tahun diatas Hulya."

"Waduh kakak tingkat dong." Sania terkekeh lalu menoleh pada Hulya. "Kamu sering ketemu dia nggak kalau di kampus, Ya?"

"Jarang, Ma."

"Kalau Tasya gimana? Lanjut S2 disini atau ikut saran kamu di Australia?"

Untuk kesekian kalinya Hulya terjebak kebosanan. Tapi bagaimana pun juga ia tak mau mengekspresikan semuanya sekarang. Jadilah ia duduk dengan mulut tertutup rapat, matanya berkelana memandangi sekitar cafe yang ukurannya lebih luas daripada cabang yang ia kunjungi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sampai sebuah jawaban dari Sania menarik telinga Hulya untuk dipasang baik-baik.

"Enggak jadi. Dia maunya di sini. Suka-suka dia aja deh, asal belajarnya lancar. Lagipula kita sebagai orangtua nggak bisa memaksa kemauan anak, kan?"

Mendengar kalimat yang dilontarkan Sania, Hulya menarik satu sudut bibirnya. Itu tak berlaku untuknya. Jika Hulya jelas beda cerita.

Percakapan keduanya teropotong ketika seorang anak perempuan yang mengenakan gamis abu dipadukan dengan outer hitam meletakkan dua gelas teh hangat di atas meja.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang