Lima Puluh Empat

2.1K 313 74
                                    

love-struck

Kini Hulya tau seberapa menyebalkan dirinya ketika sedang sakit. Itu tercermin dari Arka yang susah sekali dibujuk dalam banyak hal sejak kemarin malam.

Panasnya masih naik turun hingga pagi ini, disusul dengan bersin-bersin semenjak tadi subuh. Belum lagi perihal perutnya yang terkahir diisi kemarin sore setelah acara resepsi selesai. Ditawari ini itu hanya mengangguk saja dengan mata terpejam.

"Ka." Untuk ketiga kalinya ia kembali ke kamar dan menghela napas-saat menemui minuman hangat yang dari 15 menit lalu ia bawa masih di posisi yang sama dengan air sisa setengah gelas.

Selepas pulang dari jamaah subuh, ia kembali menidurkan diri hingga pukul setengah tujuh ini. Masalahnya Hulya tak mengerti apa yang sebenarnya ia rasa. Ditanya pun percuma, sebab tiap ditanya ia akan menjawab cuma butuh istirahat saja.

Matanya separuh terbuka dan menggumam pelan sebagai pertanda jika tak sepenuhnya tidur. Ujung hidungnya sudah memerah sebab bersin. Melihatnya tak ada perubahan membuat Hulya makin khawatir sekaligus prihatin.

Wanita itu duduk di tepi kasur dan menjulurkan tangannya ke dahi pria tersebut. "Ka, kita berobat aja deh."

"Engga mau."

"Ya udah. Makan supaya nggak begini terus."

"Engga mau."

"Berarti mau sakit terus?"

"Engga mau."

Hulya mendengus pendek. Sepertinya benar apa yang dikatakan oleh orang-orang, pria lebih kebal terhadap luka fisik, tapi tidak dengan demam. Mereka akan jauh dramatis. Sama seperti Arka. Dulu saat celaka menolongnya, ia hanya berkata itu luka kecil walau bajunya jelas berubah warna darah. Namun saat demam menyerang, ia serasa tak memiliki daya apapun dibalik gerumul selimut. Dasar.

"Pusing, Ya." Keluhnya sambil menggeser kepala. "Tolongin."

Keningnya berkerut bingung. "Apa?"

Arka menarik tangannya dan kembali meletakkannya di dahi sembari tersenyum kecil.

Jika saja ia sedang sehat, sudah pasti Hulya meneriakinya modus. Tapi akhirnya jemarinya tetap mengusap dahi hingga menyusuri sela-sela rambut hitam miliknya. "Ngeyel. Dikasih tau dari semalam juga. Minimal makan deh biar obat yang kamu bawa bisa diminum lagi."

"Kenapa kamu liatin aku begitu?" Katanya saat mendapati Arka yang malah memandanginya ketika dinasehati.

Ia terkekeh kecil sambil mengusap hidungnya yang memerah. "Seperti biasa."

"Apa?"

"Cantik."

Matanya mendelik tajam. Arka memang sering out of topic tiba-tiba. "Ka, kamu makin parah deh kayaknya."

Dengan mata terpejam ia kembali tersenyum. "Mungkin. Cuma bisa diobatin sama kamu."

"Apa sih," Hulya mendengus. "Serius loh, Arka."

"Iya," jawabnya pendek. "Besok kalau sembuh, nanti kita liat rumah."

"Rumah?" Seingat Hulya sebelum menikah mereka pernah membahas soal ini, dan berhubung ia sudah memiliki tempat tinggal jadilah ia tak terlalu ambil pusing. Namun Arka memang sempat mengatakan jika kemungkinan akan membeli rumah lain.

"Rumah apa?" Jangan bilang rumah-rumahan.

"Ya rumah kita."

"Kapan kamu beli? Bukannya terakhir ngomong sama aku belum punya rumah ya?"

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang