Sembilan Belas

2.6K 437 137
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Be thankful.
Everything you've  got till today didn't happen for no reason.


Rasa pilu itu masih terasa rengat. Begitupun dengan Rindu yang kerap menghampiri ketika malam tiba.

Hulya tak tahu dirinya berhasil atau tidak melewati hari-harinya selama seminggu ini. Yang jelas, ia sadar ibunya tak akan kembali kesini dan tak ada pilihan lain selain melepasnya dengan ikhlas.

Sebisa mungkin ia mencoba untuk mewaraskan seluruh hati dan jiwanya, agar hari esok yang ia jalani tak sia-sia hanya karena terlalu tenggelam dalam kesedihan.

Namun di tengah heningnya malam, cuplikan adegan saat ibunya merenggut nyawa kerap menjadi bunga tidurnya akhir-akhir ini.

Dan terulang lagi malam ini.

Ia mengusap kasar wajahnya saat  jantungnya masih berdebar tak karuan meski napasnya yang memburu mulai teratur. Hulya menoleh ke nakas untuk menengok jam, ternyata baru pukul satu malam.

Kalau sudah begitu ia jadi sulit tidur lagi. Alhasil Tanpa pikir panjang ia segera bangkit untuk keluar dari kamarnya.

Di anak tangga ketiga, ia tersentak pelan melihat orang yang duduk di ruang tamu sana. Itu ayahnya. Ya ampun, apa sih yang ia kerjakan sampai larut malam begini? Kadang Hulya kesal sendiri melihat ayahnya memforsir pekerjaan macam ini.

Ternyata suara langkahnya menarik perhatian ayahnya dilima anak tangga terakhir .

"Loh, Ya?" seru Dharma. "Kok belum tidur?"

Hulya menjatuhkan tubuhnya di samping ayahnya. Sekilas ia melihat apa yang ayahnya kerjakan dibalik laptop berwarna silver itu.

"Tadi udah tidur. Ini kebangun aja."

Teringat akan mimpinya tadi, ia mencoba berbagai sedikit pada Dharma dengan bahasa yang berbeda.

"Aku mau ngomong sebentar. Bisa nggak?"

Ayahnya menyerngit bingung. "Soal apa?" tanyanya tanpa menoleh.

"Mama," jawab Hulya pendek.

Barulah Dharma menatapnya. "Apa?"

Ada hela napas sebelum Hulya melanjutkan ucapannya. Sejujurnya topik ini masih begitu sensitif baginya, tapi sudahlah. Tiap luka pasti akan kering, kan? Ya, walaupun Hulya sendiri tak tahu membutuhkan waktu berapa lama.

"Malam itu, ayah yang tolak persetujuan  autopsi mama, kan?" Sekarang kerongkongannya mulai terasa kering karena kalimat tersebut memantik air matanya untuk turun.

Dharma terdiam.

"Kenapa baru kamu tanyakan ini sekarang? Kamu mau menyalahkan ayah, begitu?" katanya.

"Bukan ... bukan begitu maksud aku," sanggah Hulya dengan cepat agar ayahnya tak salah paham.

Dharma mendengus pelan lalu menutup laptopnya. "Ya, malam itu semuanya berantakan. Bukan cuma kamu. Asal kamu tau, bukan ayah yang berhak atas persetujuan autopsi itu. Tapi kamu, Ya. Ayah cuma mewakili saja."

"Autopsi itu nggak seinstan yang kita pikirin. Dan gimana bisa ayah setujui autopsi itu sedangkan kamu sendiri masih nggak percaya kalau mama kamu sudah meninggal?"

Baiklah, Hulya tak akan menyangkal karena itu memang fakta. Ia terlalu hancur saat itu, yang ada dibenaknya hanya percaya jika ibunya masih baik-baik saja dan semua kenyataan pahit itu omong kosong belaka.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang