Empat Puluh Sembilan

2K 288 616
                                    

Confess

Paradoks kematian, sesuatu yang pasti namun ditakuti. Dan porosnya adalah waktu. Sepenggal kalimat itu Hulya temukan di salah satu kajian yang pernah ia kunjungi bersama Salwa bulan lalu. Sudah tau akan berpulang, namun telak ribuan kali manusia lalai dengan hak yang melekat pada dirinya, tak jarang juga pada hak-hak orang lain.

Diri yang dibiarkan menyiakan waktu, tubuh yang dibiarkan malas, diri yang dibiarkan jauh dari ilmu dan badan yang dibiarkan banyak tertidur pulas.

Janji-janji yang lalai ditepati, sebagian harta yang dikumpulkan tak pernah dibagi dan masih banyak lagi kelalaian yang hinggap dalam diri.

Hari-hari dilewati dengan memeluk kelalaian hingga tiba saatnya gelap menyertai, dan manusia meraung pada kebisuan abadi meminta waktu untuk kembali.

Hingga hari ini Hulya belum merasa maksimal menjalani kehidupan, dari segi beribadah saja ia tak yakin semuanya totalitas dan ikhlas. Dalam proses pendewasaan, dirinya masih kerap keliru dalam mengambil keputusan. Syukurnya dengan modal kesadaran ini-meski tak selalu menyala dalam dirinya-ia tak lelah memperbaiki serpihan demi serpihan kesalahan dan menjadikannya bagian dari pengalaman untuk terus menjadi pembelajar.

Seperti Jum'at biasanya, ia memasak cukup banyak untuk dibagikan. Mengingat semua yang ia dapatkan tak sepenuhnya miliknya. Begitu ucap ibunya dulu.

Sesekali mobil Salwa melambat saat menemui orang-orang yang hendak dibagikan makanan. Happiness automatically spreads to the heart. Kalimat itu sudah cukup mendeskripsikan kala melihat senyum mereka.

"Hari ini aku nggak bisa anterin kamu photoshoot. Mau jenguk ayah dulu. Nggak apa-apa, kan?"

"Santai. Gue bisa kok," katanya sambil menatap lurus ke depan. "Btw, lo tau nggak sih? Blouse yang launching beberapa bulan lalu ternyata dibeli sama fashion influencer gitu. Tadi malem dia upload SG tuh, terus kan followers-nya minta spill, ya dia ngasih tau dong. Endors gratis nggak sih jatuhnya?" Salwa menyengir lebar pertanda senang.

"Oh ya? Pantesan tiba-tiba ada sekitar lima puluh orderan subuh tadi aku liat. Belum sempat aku cetak sih, tapi serius gara-gara itu?"

"Gue rasa iya deh. Soalnya pengikutnya lumayan tuh, sekitar dua ratus ribuan. Lo nggak mau coba endors produk Tanisha ke siapa gitu?"

"Aku maju mundur dari dulu. Yang aku takutin tuh, karena mereka tau kalau kita udah pasti bayar mereka, jadinya mereka terpaksa buat kasih rating bagus ke produk kita. Jatuhnya kayak bohong nggak sih?"

"Iya juga ya. Tapi kan baju-baju yang kita jual selama ini aman-aman aja. Nggak ada ulasan yang parah."

"Nanti aku pikir-pikir lagi sekalian cari-cari siapa yang sekiranya cocok buat bantu promosi deh."

Salwa mengangguk setuju. "Buat nanti malem nggak lupa, kan?"

Sejenak Hulya mengingat-ingat. "Ketemu sama Bu Fadia yang kolektor kain dari Bandung jam tujuh di Rin's Bakery." Mendadak Hulya langsung terbayang anak bungsu pemilik kedai itu saat menyebut tempat meeting barusan.

"Sekarang gue loh yang bilang sorry. Karena nggak bisa ikut. Banyak banget emang nih acara gue akhir-akhir ini, berasa artis baru naik daun. Untung musuh terbesar gue yang namanya skripsi udah beres."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang