Empat Puluh

2.1K 334 411
                                    

Unexpected love

Konon dinding rumah sakit tak kalah sakral dari rumah ibadah dalam hal mendengar banyaknya doa tulus yang dilangitkan. Sebab di tempat ini lah banyaknya jiwa-jiwa memohon pertolongan.

Dan Hulya percaya itu di saat berhadapan dengan tubuh yang terbaring tak berdaya di ICU sekarang ini. Air matanya seolah terkuras habis hingga hanya bisa mentap Dharma dengan sendu.

Karena ia kerap bertanya dan memaksa untuk bertemu ayahnya, akhirnya dokter memberitahu keadaan Dharma yang sebenarnya. Trauma kepala yang dialami membuatnya sempat kritis hingga semi koma. Dimana kesadarannya mengalami penurunan dan tak bisa memberi respons pada rangsangan verbal dan dibangunkan sama sekali. Tetapi refleks kornea dan pupilnya masih baik.

Ini sudah hari kedua sejak kecelakaan terjadi. Tapi polisi belum menemuinya untuk dimintai keterangan, sepertinya nanti. Menunggu kondisinya jauh lebih membaik.

Menangisi keadaan untuk kesekian kalinya pun rasanya percuma. Hulya hanya berharap ia bisa pulih secepatnya dan mengatasi masalah yang ada.

Sejenak Hulya genggam jemari Dharma yang terasa kaku, berharap kuatnya perasaan bisa sampai pada ayahnya untuk segera membuka mata. "Semoga Allah gugurkan dosa ayah lewat sakit hari ini, dan panjangkan waktu kita buat bersama-sama lagi."

Kursi rodanya kembali ditarik keluar setelah kunjungan singkat itu. Hulya diantar lagi ke kamarnya dibantu oleh seorang perawat perempuan.

Dari kejauhan ia melihat dua orang perempuan berdiri di depan kamarnya. Ia bisa mengenali betul siapa mereka, siapa lagi kalau bukan Nayla dan Aci.

"Ya!" Nayla memekik kaget saat melihat Hulya mendekat. "Ya Allah Ya Allah, lo kok bisa begini?"

Hulya hanya tersenyum kecil. Keduanya langsung membuntuti di belakang saat perawat mengantarnya masuk dan ikut membantu saat Hulya hendak berpindah ke bed dengan hati-hati.

"Ya Allah. Gue lemes banget pas tau berita kecelakaannya. Pantesan dari kemarin nggak bisa dihubungin. Ternyata ... hah ya ampun," ujar Nayla tak bisa mendeskripsikan bagaimana prihatin kawannya sekarang. Luka gores di bawah matanya saja sudah membuatnya meringis.

"Ya, maaf kita baru dateng sekarang. Kita bener-bener baru tau." Aci berucap dengan wajah merasa bersalah.

"Nggak apa-apa. Kalian tetap datang ke sini dan peduli aja udah terima kasih banget."

"Gimana ceritanya kita bisa peduli sih? Hampir tiap hari bareng-bareng, Ya. Berulang kali kan gue bilang kalau diantara kita tuh nggak boleh ada yang ngerasa sendirian."

Aci mengangguk, menyetujui perkataan Nayla tadi. "Jadi gimana? Ayah lo juga di rawat di sini? Kondisinya?"

Nayla berdecak lalu spontan berucap. "Halah, biarin lah aja, Ci." Ia sudah tau semua tentang ayah Hulya itu karena ibunya sendiri adalah pengacara Hulya untuk kasus Sania. Kalau bukan karena hal ini, mungkin Hulya tak akan pernah bercerita jika punya orangtua begitu mengingat ia selalu menutup rapat masalahnya sendiri.

"Loh kok lo malah ngomong gitu, sih?"

Mulutnya sudah terbuka, bersiap menjawab jika saja Hulya tak menyentuh tangannya. Nayla memutar bola matanya malas. Ia paham Hulya tak mau semuanya dibocorkan.

"Udah udah ... Nay, mama kamu ada infonya soal kelanjutan proses hukum mama nggak? Atau info terbaru gitu?"

"Belum ada, Ya. Kalau ada update terbaru gue pasti kasih tau kok," kata Nayla yang mulai membuka paper bag yang dibawanya dan mulai membuka.

"Malem ini gue sama Aci nginep di sini ya?"

"Iya, daripada lo sendirian?"

"Ya Allah nggak usah repot-repot. Alhamdulillah aku udah merasa lebih baik kok. Sendirian juga nggak apa-apa. Lagian di sini nggak ada sofa. Kalian bakal nggak nyaman."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang