H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berlaku adil dan berbuat ihsan (kebaikan)."(QS an-Nahl [16] : 90).
“Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah langsung terkoneksi ke dalam otak Hulya ketika mendengarkan ayahnya membahas ulang perkara 'cek-cok' tadi pagi antara dirinya dengan Tasya. Entah darimana ayahnya tahu, yang pasti saat ia datang ke sini wajah ayahnya terlihat sudah siap menyemburkan petuahnya.
Sekarang keduanya mirip dua anak remaja yang ditarik ke ruang BK akibat bertengkar. Dharma menatap kedua anak perempuannya yang duduk saling berjauhan, atau lebih tepatnya Tasya yang menjauhkan diri.
"Aku cuma bilang diabetes itu penyakit yang nggak bisa sembuh. That's true, not joking or wanting to offend. Tapi Hulya malah menuding seolah-olah aku nggak percaya sama takdir Allah. Aku tau dia lebih baik. Dari segi penampilan pun lebih meyakinkan, tapi nggak perlu sesarkas itu ke aku yang minim ilmu ini."
Siapa yang menuding? Hulya hanya mengeluarkan perspektifnya saja. Jika Tasya saja bisa melakukan itu, apa ia tak boleh? Dan soal penampilan, Hulya rasa tak ada korelasinya sama sekali.
Baru kali ini sikapnya menjengkelkan karena membela diri dan memojokkan Hulya.
Hulya menarik napas dalam-dalam seraya mengingatkan diri jika surga itu mahal. Karena itu Allah menguji hamba-Nya bukan hanya sekali dua kali, tapi sampai akhir hayat. Dan apa yang dihadapinya sekarang ini hanya lah hal kecil, jangan sampai ia mendengki pada saudara sendiri.
Dharma beralih pada Hulya yang duduk di ujung sofa. "Apa yang Tasya bilang soal ibu kamu itu kan memang benar. Kenapa kamu harus tersinggung?"
Hulya acap kali menyayangkan sikap ayahnya yang satu ini. Bisakah Dharma mendamaikan tanpa memihak salah satu?
"Kamu ini kenapa sih, Ya?"
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, apabila pertanyaan macam itu sudah keluar. Maka tandanya Dharma sudah di ambang tak habis pikir.
Hulya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa menyerang balik bukan pilihan yang harus ia lakukan, namun membela diri pun akan percuma.
Jadi Hulya harus apa? Diam? Tidak. Itu sama saja memperlama persoalan.
"Nggak apa-apa. Aku salah. Aku juga minta maaf kalau ucapan aku tadi pagi menyinggung kakak," balas Hulya untuk mengakhiri masalah ini. Saat mengucapkan itu, matanya menatap Tasya yang acuh saja.
"Aku pamit ya?" Hulya menarik tasnya. Malam ini Tasya dan ayahnya yang akan menemani Sania.
Teringat sesuatu yang sudah ia niatkan dari kemarin, gadis berkhimar abu itu kembali menatap ayahnya. "Ayah. Aku mau nginap di rumah mama sampai seminggu ke depan ya?" ucapnya tanpa peduli jika ayahnya berpikir ia mau menghindar dari masalah atau apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]