Empat Puluh Enam

2.1K 320 130
                                    

Slap

Hulya meneguk air banyak-banyak agar obat yang baru saja ditenggak lolos dengan segera tenggorokan. Kepalanya pusing bukan main semenjak berangkat ke pengadilan, mungkin ini efek dari hanya tidur dua jam tadi malam. Alhasil di tengah-tengah persidangan—tepatnya di saat semua orang dengan seksama mendengar tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum—tangannya menyelinap menyobek bungkus obat.

Pusingnya bukan lagi sekedar nyeri, tapi matanya sudah sampai berair dan susah fokus mendengarkan apa yang sedang di sampaikan di depan.

Malam tadi ayahnya resmi dipindahkan dari rumah sakit ke salah satu rutan di Jakarta Pusat. Kondisinya dinyatakan terus membaik dan sudah layak rawat jalan setelah sebulan lebih melewati perawatan intensif atas cidera kepalanya.

Bagi orang yang mengalami trauma kepala berat, penyembuhannya memang relatif lebih lama karena berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang bisa berakibat fatal. Kasus Dharma sendiri yang mengalami benturan keras di bagian belakang menyebabkan pria itu kehilangan sebagian keseimbangan gerak tubuhnya.

Namun Hulya masih punya harapan besar ketika dokter mengatakan masih ada terapi sebagai alternatif agar Dharma kembali normal.

"Ayah jangan takut, ok? Aku janji bakal usahain untuk kunjungin ayah sesering mungkin." Setidaknya hanya itu yang bisa ia ucapkan ketika rombongan petugas mendorong kursi roda ayahnya ke dalam ruangan tahanan yang sudah di sediakan.

Bahunya melemas saat petugas mengatakan jika ia tak diperbolehkan ikut masuk, Hulya hanya boleh mengantar hingga koridor tengah saja. Tim pengacara ayahnya pun tak bisa berbuat banyak mengingat situasi sungguh riuh tadi malam. Wartawan tak berhenti menyorot siapa saja yang dirasa berpotensi menjadi ladang informasi.

Sorot cahaya kamera mereka seolah ikut menghakimi dirinya juga, bahkan aksesnya untuk keluar rutan saja sulit karena ditodong pertanyaan yang tak ia mengerti sama sekali. Kepalanya hanya tertunduk, mengunci rapat mulut dan berusaha menutup telinga rapat-rapat.

"Bisa dijelaskan sedikit tentang kondisi Pa Dharma, Kak?"

"Apa ini ada hubungannya dengan kasus istri beliau yang juga sekarang proses pengadilan untuk kasus pembunuhan pada istri pertama?"

Napasnya menderu ketika ramainya orang menyelak di depannya dengan tak sabaran. Hulya mematung ketika merasa sesuatu 'menyala' dalam dirinya, rasa cemas.

"Mas, minggir dulu ya. Mbak mbak ... tolong permisi!" seru pengacara ayahnya yang mencoba menyingkirkan kerumunan di depannya.

Cuaca malam ini cukup dingin sebenarnya, tapi keringat muncul di sela dahinya. Perasaannya tak terkontrol hingga jemarinya mencengkram erat tali tas untuk menyalurkan seluruh ketakutannya sekarang.

"Kak, kondisi Beliau bisa pulih sepenuhnya atau memang lumpuh permanen?"

Tidak, ini situasi yang buruk bagi penderita aniexty disorder sepertinya. Ia bisa 'mati' perlahan hanya karena sorot cahaya kamera, teriakan dan ramainya orang-orang sekarang.

Kini ia menutup telinga dengan kedua tangan, matanya menatap awas seluruh orang yang ada. "Berhenti! Berhenti! Tolong berhenti!" Jeritnya dalam hati.

Sampai ia tiba di rumah pun kecemasannya tak kunjung mereda. Ia memeluk diri sendiri di atas kasur seraya berkata, "Mereka udah nggak ada ... Di sini aku aman ... Kamu sekarang baik-baik aja, Ya." Dengan gemetar ia mengulang terus kata itu hingga menangis.

Hingga jam satu malam ia benar-benar tak terlelep, badai perasaan yang menimpanya malam ini membuatnya gelisah untuk tidur.

Namun Allah tetaplah Maha Baik, sebelum ia memberikan situasi yang buruk, Allah telah mendatangkan dzikir sebagai ruang penenang. Bukankah orang-orang beriman sebelum kita lebih berat cobaannya? Mereka dilanda rasa takut, cemas, bahkan rasa lapar. Namun Allah tak pernah menyia-nyiakan mereka yang mau berdamai dengan diri.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang