Sepuluh (2)

2.4K 398 144
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Ilmu akhirat itu wajib dipelajari untuk bertemu sang Ilahi. Ilmu duniawi boleh dicari, bekalan hidup untuk berbakti.

Satu jam lebih di dalam gedung mall membuat Hulya tak tahu kalau di luar jutaan air penuh berkah sedang turun dari langit Sang Maha Kuasa. Ingin merutuki hujan turun pun rasanya tak tahu diri meski situasi dan kondisi benar-benar tak tepat kali ini.

Niatnya ingin berjalan sampai ke halte depan untuk mencari taksi harus tertunda. Jadilah gadis tersebut terduduk di bangku panjang yang tersedia di lobby menunggu hujan turun.

Sejak tadi ia berharap ada taksi yang setidaknya berhenti di depan Mall. Namun nihil, sejak tadi hanya mobil pribadi yang menjemput atau menurunkan sang pemilik mobil. Ayah dan ibu, dan kakaknya sudah pulang sejak lima belas menit lalu. Ponsel yang dibawa ternyata menyisakan baterai tiga persen, Hulya yakin baru membuka aplikasi hijau ponselnya akan mati total.

Lengkap sekali penderitanya malam hari ini.

Hulya beranjak dari duduknya saat melihat mobil taksi berwarna biru berhenti di luar karena baru saja mengantar penumpang. Kesempatan!

Tangan Hulya sudah melambai-lambai agar sang supir mendekat ke arahnya. Namun harapannya langsung pupus, seorang wanita yang menerobos hujan lebih dulu menyetop dan membuka pintu mobil dengan tergesa.

Gagal.

"Ya, kok masih disini?" Sebuah suara sukses membuat Hulya berbalik.

Ternyata Isma dan Airin. Hulya pikir mereka juga sudah pulang sejak tadi.

Airin tanpa malu-malu tertawa melihat aksi Hulya barusan. "Ngapain ngelambai-lambai gitu, Kak? Kayak lagi jumpa fans aja."

Hulya meringis pelan. "Mau panggil taksi, Rin."

Kening Isma berkerut bingung. "Yang lain mana? Kok kamu sendirian aja di sini?"

Sesuai perjanjian minggu sebelumnya. Setelah makan malam selesai, Hulya langsung pulang ke tempat ibunya. Dan hal itu benar-benar terjadi, tanpa peduli ayahnya langsung mengajak kakak dan ibunya pulang tanpa berasa-basi pada Hulya lagi. Hulya sudah hapal dengan sikap Dharma yang seperti itu setiap ia ingin bertemu Amira.

"Oh iya, saya sengaja nggak bareng, Bu. Ada urusan," jawabnya.

"Emang kemana sih, Kak?" tanya Airin lagi.

Bagikan senjata, Hulya tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan Airin tadi. Ia masih segan menjawab ingin pulang ke rumah mamanya.

"Eum ... Pasar Minggu, Rin."

Senyum Isma tiba-tiba tertarik lebih lebar. "Wah, ya kalau gitu ikut kita aja. Rumah saya juga di Kemang, masih satu arah kan dari sini? Gimana?"

Tentu Hulya menolaknya. Hei, ia masih malu terhadap mereka karena insiden kecil yang nyatanya berefek besar pada suasana hati Hulya saat makan bersama tadi. Lagipula ia tak mau merepotkan.

"Makasih tawarannya, Bu. Tapi saya bisa ke sana sendiri kok. Ini juga saya mau pesan taksi online." Dengan percaya diri Hulya mengangkat ponselnya yang hampir sekarat, namun biar lah. Biar dua Puluh perempuan ini percaya.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang