Dua

4.1K 591 81
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Jangan putus asa. Ada Allah yang selalu menemani setiap langkahmu.

"Pagi, Ya."

Sapaan Sania diiringi senyum saat Hulya baru saja tiba di meja makan. Tak berselang lama rautnya berubah bingung saat menyadari penampilan Hulya serta buku yang dipegang.

"Kamu kuliah hari ini? Apa nggak sebaiknya kamu istirahat dulu?"

Semenjak pulang dari rumah sakit semalam, ibunya sudah memperingati agar libur. Bahunya yang memar jadi berimbas pada gerak tangan kirinya yang mulai terbatas karena rasa nyeri.

Belum juga dijawab, ayahnya ikut menambahkan. "Bahu kamu gimana? Kalau masih sakit juga mending ikuti saran mama buat istirahat."

"Ya alhamdulillah sakitnya berkurang. Tapi aku harus masuk kuliah hari ini," jawab Hulya seadanya.

Tangannya sudah terulur hendak mengambil gelas, tapi Sania ebih dulu mengambil dan bertanya, "Kamu mau minum susu atau air putih?"

"Air putih aja, Ma."

Meskipun hanya ibu tiri, Hulya tak bisa bohong kalau Sania memperhatikan serta memperlakukan dirinya sama seperti Tasya. Ia bukan ibu tiri tipe sinetron yang suka menyiksa atau mengacuhkan anak dari pasangannya. Dan jika ditanya apakah Hulya menerima kehadiran Sania, maka jawabannya adalah butuh waktu. Bukan berarti ia membenci, hanya saja Hulya butuh keikhlasan yang lebih luas menerima kalau bingkai keluarga kecilnya yang dulu sudah benar-benar berakhir semenjak satu tahun lalu.

"Kenapa harus?" tanya ibunya yang sibuk menuangkan bubur ke mangkuk biru lalu menaruhnya di depan Hulya. "Oh iya, mama tau kamu nggak lagi sakit pencernaan. Tapi mama sengaja bikin bubur ini, kebetulan Tasya tadi malam minta. Makan yang banyak ya, jangan kalah sama kakak kamu itu. Dia makannya banyak."

Hulya tersenyum kecil mendengarnya, sekilas ia melempar pandangan pada Tasya yang tak bersuara sama sekali.

"Makasih, Ma." Dari kecil ia diajarkan bahwa sekecil apapun perbuatan baik orang lain, sudah sepantasnya dihargai walaupun belum bisa memberi nilai kebaikan yang sama. Tak terkecuali pada perbuatan Sania tadi.

"Jadi kenapa kamu harus ke kampus hari ini?"

Mata Hulya melirik ayahnya sekilas, sepertinya setelah ia menjawab pertanyaan ibunya, sarapan pagi ini akan mendadak terasa seperti ruang sidang.

"Aku ... dapat detensi dari salah satu dosen, Ma." Terlampau nekat, namun akhirnya ia berani jujur. Hulya sudah siap memasang telinga.

Ayahnya meletakkan sendok, menatap anaknya dengan wajah heran. "Detensi?"

"Maksudnya kamu nggak mengerjakan tugas sampai dapat detensi? Begitu?"

Hulya menelan buburnya dengan lambat.

Belum lagi Dharma bertanya, Tasya yang sudah menghabiskan buburnya segera membalik sendok dan meminum airnya.

"As always, bubur buatan mama enak," komentar gadis itu sambil bangkit dari duduknya. "Aku udah selesai. Ma, Yah, aku berangkat dulu ya." Ia berpamitan tanpa melirik Hulya dan meninggalkan meja makan dengan santainya.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang