Tiga Puluh Tujuh

1.9K 350 362
                                    

Current news

Pukul lima di hari Jum'at menjadi rutinitas tersendiri bagi Hulya untuk memberantaki dapur lebih dari biasanya. Melihat tumpukan alat masak yang kotor serta wadah makanan di atas meja membuat pergerakannya makin cepat untuk menyelesaikan semuanya sebelum matahari timbul di ufuk Timur.

Tiga tahun lalu ia mendapat insight baru mengenai konsep sedekah subuh pada sebuah kajian yang ia hadiri di Nurul Iman. Sepenggal pesan yang masih ia ingat sampai hari ini adalah ucapan Rasul mengenai malaikat yang diturunkan oleh Allah untuk mendoakan orang yang bersedekah pada subuh hari.

Sejak itu ia mulai meng-istiqomahkan diri menjalani. Jika dulu ia lebih sering memilih cara simpel seperti mentransfer uang via mobile banking ke sebuah panti sosial atau menyumbang di platform galang dana, sekarang ia tak bisa melakukannya lagi karena keterbatasan uang yang ia miliki. Jadilah sejak lima bulan lalu ia putuskan menggantinya dengan memasak makanan untuk dibagikan pada orang-orang yang membutuhkan.

Rasanya melakukan amalan kecil dan bisa konsisten hingga hari ini membuatnya kian percaya bahwa Allah masih memudahkan hatinya untuk melakukan kebaikan.

Dan memang sejatinya manusia ditugaskan bersafar di muka bumi untuk itu, kan? Menebar kebaikan sebanyak-banyaknya. Perihal balasan, biarlah Sang Maha Pemilik semesta yang mengambil peran.

Setelah selesai memasukkan sepuluh bungkus nasi goreng ke dalam paper bag hijau, ia sempatkan merapikan penampilan sejenak sebelum berangkat. Perkara mencuci piring bisa ia urus sepulang dari berkeliling nanti.

Hidup seorang diri selama beberapa bulan terakhir ternyata tak terlalu buruk. Walau ia harus serba pusing sendiri ketika mengatur urusan finansial, time management yang belum stabil untuk kuliah maupun mengurus Tanisha Daily, and many other things that really take up mind and time. Tapi serius, Hulya bangga bisa handle banyak hal seorang diri atas izin Allah.

Sebelum berjalan ke perempatan perumahan, ia lebih dulu mampir ke rumah tetangganya yang seorang janda tua dan rumah yang terdapat anak yatim. Setelah itu barulah ia menyusuri komplek karena biasanya pagi-pagi begini pemulung sudah mulai berkelana mencari nafkah. Dan benar saja, tanpa menunggu waktu lama mereka datang.

Melihat mereka-mereka, selalu berhasil membuat Hulya tertampar. Di luaran sana banyak yang keadaannya lebih sempit dan terjepit, tapi mengeluhnya tak seberisik dirinya.

Lagi-lagi benar bahwasanya manusia terlalu banyak meminta nikmat yang lain. Padahal yang ada saja belum sempat disyukuri.

Tak sampai jam enam ia sudah kembali ke rumah dan betapa merindingnya Hulya kala melihat pria yang menghubunginya tadi malam sudah berdiri di depan teras rumahnya sepagi ini.

"Hai!" sapanya sambil tersenyum ketika Hulya sudah memasuki pagar.

Gadis itu memilih merogoh kunci dan segera membuka pintu tanpa mempedulikan sapaan manusia abnormal itu.

"Kamu nggak punya mata, Ya? Ada tamu yang mau bicara penting ini." Ketika Andra hendak meraih tangannya untuk menahan pergerakan pada gagang pintu, Hulya dengan gesit lebih dulu menghindar dan melayangkan tatapan tajam padanya.

"Ngomong-ngomong, kamu pagi begini udah cantik aja sih. Aura orang hamil emang biasanya gitu kali, ya?"

Dasar gila.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang