Tiga belas

2.4K 401 144
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya

HR Bukhari

"Jangan pesimis dulu, Ya. Temen gue juga ada tuh yang dapet beasiswa meskipun nilainya standar aja," cerocos Wawa di tengah kegiatannya menghitung uang dari hasil pengajuan proposal.

"Emang buat apa juga kamu ikut program beasiswa? TalkTime udah segede gitu masa iya ngasih low salary ke Managernya?" Deni tertawa, Hulya tahu pria itu hanya bercanda.

"Bener. Kamu mah enak, Ya. Orangtua cerai juga hidup terjamin, mending kuota beasiswanya buat yang lebih membutuhkan aja," sahut Afifah, teman satu prodi Deni.

Hulya tersenyum kecut. Enggan menimpali apa-apa. Sedangkan Wawa dan Deni saling menatap sejenak, mereka cukup tau bagaimana sikap Afifah pada dirinya sejak dulu.

"Yaudah sih, Fa. Ini kan juga si Yaya belum tentu lolos. Kalau pun lolos insya allah itu duit digunain dengan bener." Wawa mencoba meluruskan dengan nada halusnya.

"Iya paham. Tapi kan statusnya berkecukupan. Dari gaya hidup aja nggak perlu dibantu. Kamu juga kan anak kesayangan, ayahmu nggak ngasih apa lagi coba?"

"Basi ah. Harta bukan segalanya," sela Deni, membuat Afifa mendengus.

Percayalah, ini bukan pertama kalinya Hulya menghadapi orang seperti Afifah.
Dari zaman SMA, sudah banyak yang mencap dirinya beruntung dengan segala privilage yang ia punya. Kata mereka, hidup Hulya hampir sempurna. Terlahir dari keluarga baik-baik, harmonis, jabatan ayahnya bagus, pintar, dan cantik-yang tak ada ukuran pastinya dan bersifat relatif itu-juga mereka sematkan pada Hulya.

Hulya acuh saja dengan semua pujian itu. Ia tak suka dilabeli berlebihan.

Baginya, orang lain hanya tau pertunjukan di atas panggung saja tanpa tahu apa yang ada di balik layar.

Ayahnya itu perfeksionis dalam segala hal, dan sayangnya ia terapkan dengan salah pada didikan untuk Hulya. Faktor terbesar adanya piala yang berjejer di rumah pun bukan sepenuhnya Hulya raih dengan bangga. Dirinya di-setting sedemikian rupa, padahal the right to choose your own path is a sacred privilege.

Soal jabatan yang bagus, tentu ada usaha yang keras dibaliknya dan tak semua orang tahu. Tapi sudahlah, Hulya terlalu malas menjelaskannya.

"Aku pamit duluan ya." Hulya menarik tasnya sambil menebar senyum ke semua yang berkumpul di ruang UKM. "Wa, kalau ada data yang kurang nanti tanya aja di chat ya."

Gadis bermata sipit itu mengacungkan jempolnya.

Setelah berpamitan, langkahnya sudah menjauh. Namun tertahan di pintu karena mendengar bisikan dari belakangnya.

"Gue denger orangtuanya cerai tahun lalu ya? Terus istri barunya punya anak juga. Jangan-jangan karena itu duit jajannya kurang?"

"Ya begitu deh kalau anak dimanja. Apa dia pikir hidup selamanya bakal baik-baik aja gitu?"

Afifah tak tahu saja jika semenjak pertama kali mendapat detensi di semester kemarin, ayahnya sudah menarik seluruh uang jajannya.

"Pffft, klise banget nggak sih kedengerannya? Kayak merasa terbuang karena keluarga baru."

Lihat? Hari ini sepertinya Hulya akan banjir transferan pahala.

_________________


Baru saja Hulya hendak menutup pintu kalau saja mobil berwarna abu metalik tak terhenti di depan pagar rumah ibunya. Hulya hapal betul siapa pemiliknya.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang