Dua Puluh Satu

2.4K 428 75
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Percaya atau tidak, lebih sulit menyembuhkan luka yang berasal dari seseorang yang kita cinta.

"Bisa ikut ke ruangan saya sebentar?"

Dharma langsung mengangguk ketika dokter yang hampir seluruh rambutnya memutih itu mengajaknya bicara. Dalam hati ia menerka-nerka kondisi Tasya yang masih terbaring di dalam IGD sana. Demi apapun ia khawatir bukan main sekarang ini.

Sembari berjalan menaiki tangga ke lantai dua, pria itu menyempatkan mengirim pesan pada istrinya yang sedang ada acara agar segera menyusul kemari.

"Silakan duduk."

Dharma menarik kursi sambil memandang sekitar ruangan. Ini bukan pertama kalinya ia berkunjung ke ruangan bercat putih ini. Sebulan yang lalu ia pernah kesini, berkonsultasi mengenai orang yang sama dengan perasaan yang jauh lebih lega.

"Langsung saja ya, Pak." Dokter membuka rekam medis yang diberikan oleh seorang perawat. "Sebelumnya kita sama-sama tahu kalau Tasya mengalami stenosis pulmonal sejak lahir yang baru terdeteksi saat dewasa."

"Kondisi ini membuat aliran darah dari jantung ke paru-parunya terhambat. Kondisi ini memaksa otot jantung bekerja lebih keras buat memompa lebih banyak darah. Kalau sebulan lalu semuanya masih baik-baik dan ada di skala ringan, sekarang saya curiga kalau penebalan di otot jantungnya menimbulkan satu gejala lain."

"Dari beberapa hasil memang belum seratus persen menunjukkan demikian, kita perlu MRI untuk memastikan sekaligus melengkapi tes penunjang lainnya. Bagaimana?"

Dharma menghela napas panjang setelah cukup mencerna semua yang disampaikan.

"Ya, saya setuju saja selagi itu yang terbaik untuk Tasya," jawabnya dengan wajah gusar.

Dokter mengangguk pelan. Tanpa harus diperintah lagi, perawat segera memberikan formulir setebal 3-5 halaman yang berisi pertanyaan dan pernyataan umum karena semua pemeriksaan MRI harus ada justifikasi.

Tak lama setelah dokter selesai mengisi rekam medis Tasya, Dharma pun selesai dan harus kembali lagi ke IGD bersama perawat tadi.

Ternyata di depan sana ada anak bungsunya yang tengah duduk di kursi tunggu.

Belum hilang rasa cemasnya, rasa kesal kembali menyeruak. Namun sebisa mungkin ia mengatur napas agar emosi dalam dirinya tenang.

Sedangkan Hulya yang melihat ayahnya makin mendekat langsung bangkit dari duduknya. Tadi Sania menelponnya, bertanya tentang kondisi Tasya karena mengira dirinya ikut ke rumah sakit sejak awal. Padahal tidak.

Setelah Tasya pingsan dan terjadi insiden salah paham itu, ia memilih mengurung diri di kamar dengan emosi yang meluap tak jelas. Ia enggan menyusul dan harus bertatap muka dengan ayahnya karena masih terbayang jelas bagaimana sikap kasar tersebut. Namun lambat laun emosinya turun dan Hulya mengerti satu hal, ini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Tak seharusnya ia bersikap apatis jika terjadi sesuatu pada Tasya.

"Yah?" Panggil Hulya.

Belum sempat Hulya bicara lebih banyak, Dharma menyela.

"Ya, pulang lah," ucapnya pertama kali. "Sebelum hal-hal lebih parah terjadi cuma karena emosi kamu atau Tasya yang tersulut dan berakhir makin runyam. Pulang ya?"

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang