Enam Belas

2.4K 393 89
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Orang yang bersikap baik lebih baik daripada kebaikan itu sendiri. Orang yang bersikap buruk lebih buruk dibanding keburukan itu sendiri.

Ali bin Abi Thalib

Entah sudah berapa kali Hulya merubah posisi agar bisa terlelap. Dari sekian banyak isi pikiran, ia selalu teringat pada Amira. Kalau saja bukan karena ayahnya yang bicara tidak-tidak, ia pasti sudah nekat pulang sejak tadi.

Apalagi berada dalam satu rumah dengan Tasya membuatnya malas keluar kamar untuk ikut makan malam. Rasa kesalnya belum habis akibat perkataan kakaknya tadi sore. Mungkin sikapnya ini terlihat childish, tapi perlu diingat hatinya bukan hati bidadari yang selalu putih.

Jujur Hulya paling malas dengan orang yang suka menarik orang lain dalam sebuah masalah. Maksudnya, kalau Tasya marah padanya, maka cukup dirinya saja yang jadi sasaran. Bukan merembet kemana-mana.

Tok tok tok

Hulya melirik pintu. Menerka-nerka siapa yang mengetuk pintunya jam sepuluh begini.

Kalau Tasya yang datang, Hulya lebih baik berpura-pura tidur sekarang. Mood-nya sedang tak bagus menghadapi kakaknya itu.

"Ya? Ini mama. Mama masuk ya?"

Ternyata Sania. Sepertinya tak ada salahnya meladeni ibunya sebentar. Lagipula Hulya merasa bersalah saat mengacuhkan Sania yang tak tahu apa-apa sejak tadi sore.

Pintu terbuka, menampilkan Sania yang tersenyum kecil ke arahnya.

"Mama pikir udah tidur," katanya. "Oh iya, kamu udah kabarin mama kamu?"

Hulya mengangguk. Tadi ia menelpon ibunya, dan ya, Amira tak pernah keberatan jika ia disini. Selain bercerita panjang lebar, Hulya juga menanyakan bagaimana keadaannya, dan entah jujur atau tidak, ibunya bilang semuanya baik-baik saja.

Sania duduk di tepian ranjang lalu kembali bertanya. "Kamu masih marah sama Tasya?"

Hulya diam. Ia tak berniat membahas itu lagi.

"Maafin ya?" katanya.

"Iya, Ma."

Tak ada jawaban selain 'Iya' yang terlintas di benak Hulya sekarang. Bukannya terpaksa merasa baik-baik saja, namun jika ia menumpahkan segala kekesalannya pada Sania, Tasya akan tetap seperti itu. Mengapa Hulya bisa bilang begitu? Karena bukan sekali dua kali Tasya mengibarkan bendera perang duluan, dan ditegur berulang kali pun tak ada perubahan.

Lalu untuk apa lagi ia merengek pada Sania agar menegur Tasya? Yang ada kadar kebenciannya bisa berlipat karena dituding terlalu berlebihan.

"Kamu udah save nomor mama yang baru belum?"

"Loh, memang mama ganti kartu?" Hulya bertanya balik.

Sania tertawa sejenak. "HP mama ilang, Ya. Pas kumpul arisan kemaren di Caffee Orchid. Makanya sini hp kamu, mumpung mama inget nih."

Refleks matanya melirik ke nakas dan mengambil benda persegi panjang itu.

"Eh, ini obat siapa, Ya?" Sania bertanya ketika tak sengaja melihat plastik berwarna putih yang berlogokan nama  apotik.

Hulya ikut melirik lagi ke samping. "Obat mama yang baru dibeli  pas pulang kuliah." Tadi ia memang sengaja mengeluarkan seluruh isi tasnya untuk mencari flashdisk.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang