Tiga Puluh Lima

2.2K 351 665
                                    

Worries

Implusif bukanlah gaya Tasya. Dari dulu ia selalu merencanakan segala sesuatu dengan matang dan penuh pertimbangan. Baik hal kecil seperti membeli barang yang ia inginkan, kemana ia akan pergi berlibur, atau keputusan lumayan besar seperti langsung melanjutkan studi S2. Dan sekarang ia dihadapkan oleh keputusan besar yang menyangkut hidupnya kelak. Menikah.

Mengenal Arka melalui kedua orangtua masing-masing bukanlah hal buruk. Selama ini ia selalu menyeleksi laki-laki yang datang dan menawarkan hubungan padanya, baik yang benar-benar ingin serius atau hanya sebatas menjadikannya pacar saja. Mungkin ini terdengar agak berlebihan, tapi faktanya memang tak perlu memakan waktu lama bagi Tasya untuk menerima Arka karena merasa pria tersebut berbeda.

Arka tak pernah merasa terancam dengan kemandiriannya sebagaimana pria lain yang pernah mendekatinya. Arka punya self control yang baik dalam menyelesaikan masalah, pemikirannya tak kolot dan nyaman diajak bicara lama-lama karena wawasannya cukup baik. Dan jauh dari semua hal-hal kecil yang Tasya nilai, tentunya ia tahu bahwa Arka adalah pria yang begitu menghamba pada Sang Maha Pencipta.

Dari awal caranya mengenalkan diri yang hanya menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil menyebut nama, Tasya paham jika ia tak bisa melalukan physical contact ke wanita meski pada hal spele dan umum dilihat orang ketika berjabat tangan untuk berkenalan. Tentu Tasya menilainya bukan sebagai sebuah kesombongan, melainkan memang itulah caranya menghormati perempuan dengan tak menyentuhnya sembarangan.

Setiap mereka bertemu pun, ia selalu memilih tempat terbuka dan ramai orang. Pernah satu kali Tasya kehabisan tempat duduk dan mendapat kursi di pojok resto, Arka dengan sengaja malah menarik roller blind jendela. Atau contoh lain seperti saat mengantarnya pulang dengan kaca mobil yang terbuka sepanjang jalan. Secara tersirat sikapnya menunjukkan bahwa ia tak ingin terperangkap berdua dengan perempuan.

Dan satu hal yang Tasya bisa rasakan dari Arka, ketenangan. Pria itu cukup tenang. Pada siapa saja ia mudah memberi senyum dan tak gampang menghakimi orang lain atau sesuatu yang menurutnya tak sesuai dengan pemikirannya.

Sejauh mengenalnya, belum ada red flag yang ia temukan dari Arka. Dan itulah yang membuatnya menerima lamaran Arka dua minggu lalu meski belum sepenuhnya menaruh cinta.

Namun kini hatinya kembali bersoal mengenai pernikahan yang rencananya akan dilaksanakan tak jauh dari acara lamaran.

"Saya dipindah tugaskan ke Aceh buat setahun ke depan, Sya. Suratnya sudah keluar, dua minggu lagi saya berangkat," katanya. "Dan soal pernikahan, saya mau mengembalikan ke kamu. Karena saya tau pihak wanita bakal dapat pandangan lain kalau pernikahan di tunda. Apalagi jangka waktunya lumayan lama."

Pagi ini ia datang lagi untuk memenuhi janjinya dua hari lalu saat Tasya minta bertemu.

"Arka, I think God has other plans."

"Maksudnya?"

Jemari gadis itu saling bertaut acak di atas selimut ketika lidahnya kelu untuk mengatakan semua persoalan yang mengganggu hatinya sejak masuk rumah sakit.

"Janji jangan marah, ya?"

"Kenapa harus marah? Ngomong aja," katanya.

"Kamu ... yakin mau menikahi aku?" Sebisa mungkin Tasya mengucapkan kalimat tadi dengan hati-hati.

Sebelah alis pria itu terangkat, bingung sekaligus mengisyaratkan butuh penjelasan yang lebih.

"Maksudku ya ... kamu lihatlah kondisi aku sekarang. Aku sakit, jantung aku nggak baik-baik aja. Belum tentu sembuh atau enggak. Ke depannya pasti banyak hal atau resiko yang harus kamu terima juga terkait kondisi aku. Dengan keadaan aku yang begini, aku nggak menjamin bisa menjalankan peran istri dengan baik."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang