Sepuluh (1)

2.4K 405 141
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
"Syukur itu bukan hanya atas karunia, jika mampu bersyukur pada tiap suasana maka engkau akan jadi orang paling bahagia."

Ustadzah Halimah Alaydrus

Tak ada yang spesial bagi Hulya, kendati Sania sejak pagi tadi riuh memperingati acara malam ini seperti orang yang berkampanye menjelang pemilu.

Abaya polos berwarna coklat dengan renda hitam di bagian pergelangan tangan, hijab segi empat coklat senada dan flat shoes sudah cukup menjadi tampilan di dinner. Tak perlu repot memoles make up, karena sepertinya orang tak terlalu peduli sekalipun wajahnya tampil seadanya. Lagipula akan memakan waktu banyak jika berhias.

Namun selain alasan tersebut. Hulya sebenarnya sedang bermuhasabah diri juga karena dirinya adalah pribadi yang kerap lalai. Mengaplikasikan perintah agama dalam kehidupan sehari-hari memang berat, maka dari itu harus terus belajar meski bertatih-tatih menjalankannya.

Bayang-bayang tabarruj selalu mengintainya di depan mata. Bisikan agar jangan berhias berlebihan, menampilkan apa yang seharusnya tertutup, bahkan wewangian yang tercium oleh bukan mahrom saja Rasul samakan dengan seorang pezina sudah mampu membuatnya bergidik ngeri sendiri.

Karena memang hukum asal wanita adalah di rumah. Dan jika ingin keluar, jangan bertabarruj sebagaimana perempuan jahiliyah dahulu. Seadanya saja. Asal bersih, rapi, tertutup dan pantas ketika dipakai bermuamalah bersama manusia. Itu sudah cukup menjabarkan style of muslimah yang sebenarnya.

Sesampainya di salah satu pusat perbelanjaan, mereka tak langsung menuju resto melainkan berkeliling sebentar. Atau mungkin lebih tepatnya, Tasya mengatakan jika ia perlu mengganti laptopnya yang rusak.

"Kamu nih lama banget milih Macbook aja, Sya. Nanti keburu temen mama duluan yang sampe di resto," ucap Sania pada Tasya yang sibuk dengan dua Macbook berwarna pink dan putih.

Sudah hampir dua puluh menit menunggu Tasya yang kebingungan. Bukan soal harga, tapi kedua benda itu punya kelebihan yang unggul masing-masing.

Tasya mendencak kecil. "Yang ini aja deh." Tangannya menunjuk Macbook berwarna pink. "Boleh nggak, Yah?" tanyanya pada Dharma.

Pria paruh baya yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya mengangguk. "Boleh, Sya. Yang penting kamu sehat-sehat ya?" jawabnya sambil mengelus pucuk kepala anaknya.

Kakaknya itu langsung mengangguk dengan wajah sumringah.

Dharma meminta pada pegawai yang berdiri tak jauh darinya agar Macbook Air tersebut di-setting. Setelah itu ayahnya langsung mengurus pembayaran yang Hulya tahu benda bermerek itu seharga delapan belas juta rupiah.

Sudah menjadi kewajiban orangtua kan memberi apa yang anak butuhkan? Terlebih ayahnya masih mampu. Jadi Hulya rasa ia tak perlu mempermasalahkan atau iri pada saudaranya ini.

"Ayo, nanti sebelum pulang kita kesini lagi."

Menaiki lantai tiga butuh kesabaran tersendiri melihat orang yang berdiri di depan lift yang mengantri. Walaupun malam begini, rupanya pengapnya tak jauh berbeda dengan siang hari.

Resto bernuansa putih dengan sentuhan biru muda pada langit-langitnya memiliki keunikan tersendiri di mata Hulya. Hulya sendiri baru pertama kali kesini. Saat matanya melirik nama resto tersebut, ia agak kaget. ZnZee Resto. Ini adalah resto yang pernah dicibir oleh Nayla karena makanannya juara namun mampu membuat dompet menangis. Katanya, ini bukan tempatnya mahasiswa yang dompetnya selalu dilanda krisis tanggung bulan macam mereka. Makan di kantin Mang Ujang saja sudah bagus.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang