Two Weeks
"Nggak bisa datang?" Nayla mengerutkan alisnya bingung. Sontak tangannya yang sedang membereskan meja terhenti. "Loh, kenapa?"
Masih sambil fokus menatap layar ponsel, yang ditanya hanya mampu menghembuskan napas panjang. "Mamanya masih di Canggu sampai awal bulan depan. Kerjaannya lagi banyak, jadi nggak bisa pulang mendadak," jawabnya pelan.
Nayla terdiam, mengerti nada lemah itu terdengar sedikit kecewa. "Gue tau Bu Ishma businesswoman, tapi serius nih nggak ikut lamaran anaknya? Ya emang cowok bisa lamaran atau nikah tanpa wali, tapi kan kayak ada yang kurang gitu. Apalagi ini orangtua."
Lima tahun lebih bersama Hulya, secuil hilal asmara tak pernah terlihat dari dirinya. Pasalnya boro-boro berpikir menikah, dari dulu ia tak pernah merespon jika ada orang yang memberi sinyal menaruh hati padanya. Hidupnya terlampau lurus dan kaku jika sudah menyangkut soal pria.
Nayla kenal Arka, dalam artian hanya sebatas wajah dan nama saja. Dalam beberapa kesempatan Nayla juga sempat bersama. Seperti saat pemakaman ibu Hulya dulu, lalu pemakaman Tasya serta awal-awal kasus Sania terungkap. Nayla pun tahu Arka adalah kakak dari Rendy yang juga kakak tingkatnya di kampus dulu. Namun sependek pengetahuannya Arka bisa mengenal Hulya bukanlah melalui Rendy, melainkan karena Tasya dulunya adalah calon tunangan Arka.
Jadilah ia pikir adalah hal yang wajar saat keduanya terlihat berinteraksi. Hebatnya lagi tanda-tanda keduanya tak pernah terendus oleh orang di sekitarnya. Termasuk dirinya.
Namun siapa sangka jika kemarin dengan polosnya Hulya main ke rumahnya dan membawa berita yang membuat Nayla menjerit sekaligus kesal bukan kepalang.
Bagaimana ia tidak kesal? Ia merasa tertinggal banyak hal padahal selama ini banyak menghabiskan waktu berdua layaknya anak kembar siam.
Dan siang ini giliran ia yang main sekaligus membantu Hulya untuk acara nanti malam. Niken–mama Nayla–juga akan datang sore nanti untuk mewakili orangtua Hulya.
"Apa ... mamanya nggak setuju ya, Nay?" Setelah cukup lama terdiam, Hulya kembali bersuara. Room chat dengan Airin sudah ia tutup karena anak itu tak kunjung membalas.
Gadis berambut panjang itu berdecak. Siang bolong begini kenapa harus disodorkan pertanyaannya berat sih?
"Nggak setujunya kenapa? Kan udah saling kenal lama."
"Bu Ishma emang baik. Tapi bisa aja dia punya penilaian tersendiri soal aku, kan?" tambah Hulya.
"Ya ampun, Ya." Nayla berdecak gemas. "Masa Bu Ishma mikirnya sampai nggak setuju sih? Kecuali yang dinikahin anaknya ani-ani atau buronan negara tuh, baru deh. Lagian kenapa dia nggak percaya pilihan anaknya?"
Lama-lama ia jadi penasaran tentang bagaimana Arka menyampaikan pada ibunya perihal dirinya.
_______________
Sepekan terakhir hujan selalu mengguyur Jakarta saat sore dan malam hari. Dan sejak setengah jam lalu intensitasnya tak kunjung menurun, deras dan petir sempat bersahut-sahutan di langit. Dalam situasi seperti ini, tentunya Hulya memaklumi jika mereka baru tiba pukul setengah sembilan malam. Rasa antusias yang seharusnya ada benar-benar luntur sejak siang. Entah efek kabar Ishma atau memang ia terlalu lelah saja hari ini.
Malam ini Arka datang dengan sepasang suami istri yang sosok suaminya terlihat tak asing bagi Hulya. Lalu tentu saja ada Airin.
"Kita mewakili Ishma yang mohon maaf belum bisa datang ke sini. Urusannya di Canggu beberapa minggu ini lumayan padat. Tapi tenang aja, Ishma dan seluruh keluarga di Bali senang sekali dengan kabar ini. Mereka memberi restu dan berharap bisa datang di pernikahan kalian nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]