Fancy meeting you here
Aroma sup yang ada di atas meja menggoda indra penciuman Nayla yang sejak tadi sudah siap dengan piring dan sendoknya.
"Wah skill masak lo makin bagus kayaknya, Ya." Komentarnya sambil menuang sup ke dalam mangkuk kecil. Udara yang dingin memang cocok dengan makanan berkuah seperti ini.
Hulya yang sedang menyiapkan lauk lainnya hanya tersenyum kecil. "Iya dong. Aci sih nggak dateng, padahal dia harus tau kalau sekarang aku udah bisa bedain mana lada mana ketumbar."
Nayla tertawa pelan. "Sibuk dia. Kapan-kapan kayaknya harus kita deh yang main ke Bekasi. Curiga kelamaan di sana malah mateng tuh anak."
"Mateng?" Ulang Hulya. Kini ia sudah ikut duduk dan menuang nasi.
Intensitas pertemuan ketiganya memang menurun sejak lulus. Masing-masing sibuk dengan urusannya, namun setiap ada waktu luang mereka selalu merencanakan menginap di rumah Hulya.
"Iya. Bekasi kan panasnya pol," jawabnya singkat lalu terkikik. "Tapi keren juga Aci. Nggak ada sebulan habis lulus langsung di hire sama Astra Group. Lah gue ? Udah tujuh bulan nih abis lulus, gini-gini aja."
"Gini-gini gimana sih? Kamu keren juga kok. Kamu lagi seneng bikin buket kan? Bagus dong asah keterampilan." Sanggah Hulya sebelum menyeruput kuah sup.
Sepertinya benar, skill masaknya terus membaik semenjak tinggal sendiri, meskipun hari-hari cuma membuat makanan simpel dan menunya sering berulang-ulang.
Harus diakui jika tinggal sendiri mengajarkan banyak hal pada dirinya. Bukan cuma soal harus memasak sendiri untuk menghindari makan di luar serta seringnya order yang cuma berujung pemborosan. Ia juga mesti menaruh keinginan di skala prioritas terbawah dan memutar otak agar uang yang didapat dari hasil usahanya terputar dengan baik.
"Lo puji begitu karena lo temen gue, Ya," katanya. "Coba itu orang-orang, ada aja yang nyinyir kenapa gue belum dapet kerja, padahal kan lulusan kampus bagus lah, anak pengacara lah, ini itu lah. Padahal mama sama papa gue aja nggak seribet itu kok. Asal gue pulang di bawah jam 10 mereka masih anggap gue anak."
"Menurut lo gimana?" tanyanya di akhir.
Ditanya begitu membuat Hulya sedikit bingung menjawabnya. Ia paham selama tujuh bulan ini Nayla hampir bosan sebab belum mendapat pekerjaan tetap. Tapi ia tak bisa juga menghakimi jika Nayla tak berusaha untuk mendapatkan pekerjaan, bisa jadi semua usaha dan doanya hanya ia serta Tuhan yang tahu.
"Kita kan nggak bisa kontrol pandangan dan omongan orang, tapi kita bisa tutup telinga buat nggak mendengar suara-suara sumbang orang lain."
"Mama kamu juga pernah bilang kalau apa yang udah beliau kasih ke kamu bukan buat di balas, itu kewajiban mereka sekolahin kamu karena bagian tanggung jawab sudah menghadirkan kamu ke dunia ini. Santai aja, mungkin doa kamu bakal dikabulkan dalam bentuk lain yang bisa jadi nggak pernah kamu kira sebelumnya."
Wajah Nayla agak speechless. "Serius nih?" katanya. "Kok mama gue sama lo sweet banget? Giliran ngomong sama gue teriak-teriak melulu."
Hulya terkekeh. Belum sempat menjawab lagi, getar ponselnya mengalihkan perhatian. Nama Salwa tertera di layar.
"Assalamualaikum yang masih skipsian!" Bukan, itu bukan Hulya. Melainkan Nayla yang sudah menyengir lebar.
"Wa'alaikumussalam pengangguran."
Sepersekian detik wajah Nayla berubah, matanya mendelik tajam lalu menggeser duduknya hingga mepet dengan kursi Hulya. Tanpa segan tangannya juga menggeser ponsel yang sedang di pegang itu ke hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]