Tiga Puluh Empat (2)

2.1K 382 520
                                    

"Kamu liat? Tasya ketakutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu liat? Tasya ketakutan. Dia nggak nyaman sama kamu!" Sentak Sania sambil menggendong tubuh mungil anaknya.

Tanpa mempedulikan ucapan tersebut, tangannya dengan mudah merebut cepat Tasya ke dalam pelukannya. Akibatnya Sania terdorong sampai membentur meja dan terjatuh.

"Dia lama-lama bakal terbiasa sama saya. Dan kamu nggak perlu khawatir, Amira perempuan yang lembut penuh kasih sayang. Dia pasti bisa jadi ibu yang baik buat Tasya maupun Hulya."

Sania menggeleng keras dan mulai menangis. "Sebaik apapun perempuan lain, aku yang mengandung dan melahirkan mereka! Aku ibunya!"

Sayangnya Dharma terlalu tuli dan terus melangkah lebar untuk segera keluar.

"Mama!"

Tasya yang tangisnya belum berhenti sejak tadi justru makin menjadi dan memberontak di gendongan ayahnya. Tangan kecilnya mengggapai-gapai Sania agar kembali ke pelukan ibunya.

"Mas! Kembalikan!"

Merasa pusing dengan Tasya yang mulai tantrum, barulah Dharma melepaskannya.

Melihat Sania yang sibuk menenangkan Tasya. Ia malah mendengus seraya berucap, "Hari ini mungkin saya nggak membawa Tasya. Tapi besok? Mungkin kamu nggak akan bisa ketemu dia lagi."

"Apa sih mau kamu, Mas?" Kini Sania mentapnya penuh kecewa. "Kurang puas kamu khianati aku? Kurang puas kamu tinggalkan aku berbulan-bulan dalam keadaan hamil tua? Tanpa kabar, tanpa uang, bahkan tanpa rasa peduli?  Kamu bahkan bawa Hulya entah kemana. Kamu mau aku menderita gimana lagi? Mau aku mati, hm?"

Tangan kanan yang sibuk mengusap punggung Tasya sekarang ia gunakan untuk menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti.

"Asal kamu tahu, Mas. Aku lebih memilih kamu langsung tembak pakai peluru daripada kamu pelan-pelan membunuh aku dengan cara begini ... "

"Kamu bawa Hulya, artinya kamu sudah bawa separuh nyawaku juga."

Pertahanan yang coba Hulya bangun sejak Sania bercerita dari awal akhirnya hancur juga. Setiap kalimat yang ia dengar bagaikan pisau tajam yang ikut mengiris hatinya.

Sama halnya dengan Sania, kini kepalanya ikut tertunduk karena air matanya mulai susah dihentikan.

"Setelah pertengkaran hebat hari itu mama benar-benar nggak menemukan akses buat ketemu dia lagi, Ya. Dia bahkan lupa kalau masih ada Tasya yang setiap hari selalu menanyakan keberadaanya."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang