Tiga Puluh Enam

2.2K 386 654
                                    

Stuck in a problem

Someone once said, mengulang-ulang doa itu sama seperti mengayuh sepeda. Suatu saat akan membawa kita ke tempat yang ingin dituju.

Kalimat itulah yang menjadi salah satu alasan Hulya melangitkan doa yang sama sejak dulu untuk ayahnya, Allahumma Layyinli Qalbahu, Layyinta li Dawudal Hadiid.

Sebagaimana Allah membantu Nabi Daud kala melunakkan besi, ia selalu berharap Allah menaklukkan hati ayahnya yang kadang sekeras batu.

Seperti yang tengah terjadi sekarang, ketika ayahnya datang dengan raut tak senang dan kini meluapkan semua amarahnya di depan Tasya yang jelas-jelas butuh ketenangan.

"Kamu tau nggak kalau semenjak berita mama kamu beredar, ayah nggak bisa tidur tenang. Bahkan sekarang Tasya juga kena getah ulah kamu yang serampangan sampai membatalkan pertunangannya. Puas kamu?"

Tasya memang sudah menyampaikan pada Dharma tentang pertunangannya. Dan kini Hulya harus menerima imbas hal tersebut karena disebut-sebut sebagai sumber semua kekacauan. Padahal ia sendiri juga baru mendengar berita ini.

"Kamu nggak boleh membatalkan pertuangan itu, Sya. Kamu bisa sembuh, ayah yakin. Kalau perlu ayah bawa kamu ke Penang buat dapat pengobatan terbaik." Akibat terlalu fokus pada kasus Sania dan pekerjaannya di TalkTime, Dharma lengah pada Tasya. Tahu-tahu saat ia datang, dokter mengabarkan jika ketidaksanggupan jantung anaknya dalam memompa darah dengan baik, sel-sel darahnya dengan mudah menggumpal dan dapat menyumbat aliran darah menuju organ tertentu. Salah satu dampak yang makin hari terlihat adalah napas Tasya yang sering sesak.

Awalnya Dharma agak shcok karena tak menyangka kondisi Tasya bisa menjadi sedrastis ini hingga dokter menyarankan agar dilakukan operasi segera.

"Yah ... " panggil Tasya dengan lemah. "Ini bukan soal sakit aku aja. Tapi lebih daripada itu. Keputusan ini pun nggak membertakan kami berdua."

Kepala Dharma menggeleng. Tanda tak setuju. Kini ia menatap tajam Hulya yang sedari tadi tak bersuara dengan kepala tertunduk.

"Pulang sana! Ayah muak liat kamu lama-lama," ujarnya dengan keras.

Tanpa perlu diusir dua kali, ia segera mengambil sling bag miliknya dan bangkit dari sofa.

"Yah, udah lah. Dia banyak bantu aku selama di sini," ucap Tasya, secara tak langsung menahan Hulya agar tak melangkahkan kaki dari kamarnya.

"Ayah bisa panggilkan orang buat jaga kamu mulai besok. Nggak perlu dia datang lagi buat cari muka setelah apa yang dia lakukan. Ayah nggak mengharapkan apapun lagi dari Hulya, bahkan kehadirannya. Terserah, hiduplah di luar sana sesuka kamu."

Ucapnya dengan mudah, tanpa peduli pada luruhnya hati Hulya. Seketika kisah yang Sania ceritakan tempo hari lalu membalut ingatannya, membuat ia sadar kalau ayahnya belum berubah.

Ia rasa ini memang bukan lagi soal rasa kesal karena Hulya melaporkan Sania. Atau tentang pekerjaan Dharma yang juga ikut terkena impact isu tersebut.

Lebih daripada itu, ayahnya seperti menganggap kehadiran dirinya hanyalah sekadar bayang-bayang.

Meski sekeras apapun ia berusaha, sebanyak apapun pencapaian dirinya dan semua hal yang ia lakukan, ia hanya menilainya dengan dua pandangan. Gagal dan salah.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang