Lima Puluh

2.1K 302 327
                                    

Ten crucial minutes

Hampir sepuluh menit terbangun di pukul tiga pagi, dan Hulya hanya memandangi langit-langit kamar. Seolah lampu kamar yang menyala adalah objek yang paling menarik baginya sekarang, padahal pikirannya jauh melalang buana.

Pengakuan Arka tiga hari lalu mengusik ruang logika dan hatinya yang terus saling bertentangan. Semenjak hari dimana pertama kali Arka menariknya di peron stasiun hingga terakhir mengantarnya pulang menjadi pertimbangan yang tak berkesudahan.

Ia jadi teringat bagaimana dulu Tasya yang awalnya enggan ketika Sania ingin mengenalkannya pada seseorang, tapi saat di resto itu-kala Arka berdiri di depannya-matanya berubah, hingga akhirnya Tasya dalam kurun waktu singkat menyangkal keraguan dengan menerima dan berani menjalani keseriusan dengan pria itu.

Dan dulu Hulya lah orang yang merasa paling senang ketika tau Tasya hendak bertunangan dengannya. Sebagai adik, ia merasa Tasya bertemu sosok yang tepat. Sebab Arka hampir mengisi segala kriteria dengan baik. Tapi sekarang justru Hulya menyimpan keraguan padanya.

Dibesarkan dengan krisis figur memang petaka batin. Hasilnya ia akan selalu ingat dan berkaca tentang bagaimana ia dibesarkan, bagaimana melihat ibunya diperlakukan, melihat ayah yang perannya hilang dan rumah yang kehangatannya lenyap sejak lama.

Seluas apapun ikhlas menerima masa lalu, memori itu tetap ada. Sulit diasingkan meski sudah cukup lama.

Hulya menghela napas panjang, sadar terlalu lama larut dalam pikiran dan perasaannya mulai tak nyaman. Ia belum sepenuhnya bebas dari gangguan kecemasan itu meski statusnya kini jauh lebih baik dan tak lagi meminum obat.

Di tengah sayupnya malam, Hulya selalu percaya langit tetap ramai oleh doa-doa yang dipanjatkan oleh mereka-mereka yang menyempatkan waktu berdialog dengan Tuhan. Mereka mengambil waktu terbaik ketika kebanyakan orang memilih terlelap dengan nyaman.

Hulya sendiri merasakan bagaimana sujudnya jauh lebih tenang dibanding siang hari yang dimana otaknya masih terpaut dengan urusan duniawi. Padahal hajatnya melambung beribu, namun sujudnya kerap terburu-buru.

Sejauh ini dalam doanya, ia hanya mendoakan kebaikan untuk orang-orang di sekelilingnya. Untuk kelembutan hati orangtuanya, perihal ampunan terhadap dosa-dosa mereka, serta orang-orang yang selalu berbaik hati membantunya. Tapi beberapa malam terakhir, ia mengadu juga pada Rabb-nya tentang keraguan dan ketakutannya.

Bagaimanapun juga, manusia bukanlah pemilik sesungguhnya atas diri mereka.

______________

Mata Hulya menyusuri dengan seksama lapas yang rutin ia kunjungi selama dua tahun terakhir ini-dan sepertinya akan terus berlangsung selama tiga belas tahun ke depan-jika umur ibu atau dirinya masih sampai. Perasaan Hulya selalu hampa kala mengingat vonis lima belas tahun akan menyita banyak momen kebersamaan yang seharusnya ia habiskan dengan ibu kandungnya.

Dari ujung lorong ia melihat ibunya di antar seorang sipir perempuan. Semakin dekat jarak mereka, senyum Sania makin jelas terlihat. Hulya berdiri menyambutnya dengan pelukan agak lama.

"Mama kangen banget sama kamu." Wanita paruh baya itu mengusap pelan kepalanya. "Kamu baik-baik aja, kan?"

Yang ditanya mengangguk pelan, masih tersenyum lebar. "Maafin aku, Ma. Hampir sebulan aku baru kesini lagi."

"Enggak apa-apa. Mama tau kamu pasti sibuk juga." Ia menarik pelan Hulya agar duduk di sampingnya. Hanya dua puluh menit waktunya untuk bicara, jadi ia harus gunakan sebaik mungkin untuk melepas rindu dengan anaknya.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang