Dua Puluh Lima

2.7K 421 427
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
I don't know when my prayer will be answered, all I know is that Allah will always hear it.

"Saya kecewa sekali, Andra. Kalau bukan mengingat ayah kamu teman baik saya, mungkin sekarang dua tangan kurang ajar kamu itu sudah diborgol oleh polisi sekarang."

Andra menelan saliva kasar, tenggorokannya kontan tercekat mendengar ucapan pria paruh baya yang berdiri tegas di hadapannya sekarang.

"Om, saya benar-benar nggak bermaksud apa-apa. Ok, saya emang salah karna ninggalin Hulya gitu aja setelah jatuh, tapi ... tapi waktu itu saya juga benar-benar panik!"

"Begini aja, saya bayar semua biayanya sampai Hulya sembuh. Tapi please, jangan bawa-bawa polisi. Om tau, kan, ayah gimana?"

Dharma tersenyum kecil, itu bukan jalan keluar menurutnya. "Kamu tau? Sekarang selain kesal setengah mati, saya juga menyesal dulu memperkenalkan kamu dengan anak saya."

"Sumpah, Om. Saya nggak ada niat jahat apapun sama Hulya. Malam itu saya pure mau ajak Hulya bicara aja." Masih berusaha membela diri, ia lagi-lagi beralasan yang sama.

"Kamu nggak waras ya, Ndra!" Dharma membentak. "Kalau cuma bicara kamu nggak mesti tarik dia ke toilet laki-laki sampai kunci pintunya, kamu nggak perlu peluk-peluk bahkan sampai mau cium anak saya! Kurang ajar itu namanya!"

"Saya memang jarang perhatikan Hulya, tapi saya nggak bisa membayangkan kalau sampai dia rusak hanya karena pria kayak kamu! Mulai sekarang saya minta kamu pergi jauh-jauh dari keluarga saya! Jangan berani kamu temui Hulya lagi."

Andra tersentak di tempat.

"Om, saya benar-benar minta maaf. Saya nggak mungkin rusak Hulya. Malam—"

"Saya juga laki-laki, Andra. Saya sudah tau apa yang ada di kepala kamu kalau ada disituasi begitu," potong Dharma. "Pergi! Saya nggak mau liat kamu di sini."

Andra mendengus kecil. Tanpa membela diri lagi ia segera undur diri dari hadapan Dharma. Niatnya untuk menjenguk Hulya siang ini pupus sudah.

Melihat punggung pria tersebut sudah menjauh, Dharma langsung masuk ke kamar rawat anaknya.

Dilihatnya Hulya yang sedang tidur meringkuk, membelakangi Sania yang duduk di dekatnya sembari memegang semangkuk kecil bubur—mencoba membujuk agar Hulya makan—walau sejak tadi yang dibujuk hanya diam saja.

"Mas, dia—" Sania yang hendak mengadu langsung berhenti saat Dharma memberi isyarat agar diam.

Menyadari kondisi Hulya masih sama seperti semalam, Dharma tahu anaknya masih cukup berat menerima apa yang terjadi tadi malam.

Dalam hati ia menyesal semalam pulang tanpa Hulya karena mempercayai begitu saja saat Tasya memberi tahu Hulya akan pulang dengan pria brengsek itu.

"Ya," panggilnya pelan. "Kamu gimana, hm? Feel better?"

Tak dijawab.

"Kamu belum sentuh makanan kamu dari pagi. Apa kamu nggak kasian liat mama yang terus-terusan bujuk kamu?"

"Aku mau sendiri."

Sania dan Dharma saling bersitatap ketika mendengar suara pelan tersebut.

"Ya? Kamu jangan begitu dong. Kamu boleh marah dan diemin siapapun, tapi jangan suruh kami pergi dan tinggalin kamu sendirian dalam keadaan begini."  Sania agak frustrasi karena semenjak semalam Hulya tak bicara sepatah kata pun padanya.

"Aku mau sendiri, Ma."

Tak

Mangkuk itu di letakkan kesal oleh Sania sampai menimbulkan bunyi.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang