Enam

2.3K 363 169
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Kadang Allah tak memberikan apa yang kamu inginkan. Bukan tak pantas, tapi kamu layak mendapatkan yang lebih baik.

Ayah

Ya, kalau sudah selesai kelas langsung pulang. Hari ini jangan main atau mampir dulu. Mama kamu sakit dan nggak ada yang jagain. Takutnya kenapa-napa. Kalau masih kayak tadi pagi, langsung antar ke rumah sakit aja. Kemungkinan ayah pulang malam.

Iya, Yah. Tapi sekarang aku masih ada
urusan penting sebentar di luar kampus.
Nggak akan lama, abis itu aku langsung pulang.

Balasan Hulya langsung dibaca oleh ayahnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, takut ayahnya menanyakan lebih detail apa urusannya.

Ingat ya, setelah itu langsung pulang.

Barulah gadis itu membuang napas panjang. Ia tak mungkin bilang ingin mengantar Amira kontrol bulanan, yang ada detik ini juga ayahnya akan menelpon dan memintanya pulang lalu dengan seenaknya berkata 'Kamu bisa kesana kapan-kapan.'

Setidaknya alasan macam itulah yang ia terima satu bulan ini. Ayahnya memang membolehkan jika Hulya berkunjung atau menginap di sana, tapi dengan catatan jangan terlalu sering. Aneh, kan?

Hulya pada awalnya mengiyakan saja agar tak jadi pertengkaran panjang, lagipula ia selama ini sering mencuri waktu pergi ke sana diam-diam 

Seperti hari ini, Hulya putusakan untuk menepati janjinya. Bukannya ia tak peduli pada Sania yang semenjak pulang dari Bogor muntah-muntah dan demam tinggi, tapi ia sudah lebih dulu memiliki janji dengan ibunya. Lagipula ia sudah hampir sampai, tidak mungkin langsung pulang, kan?

Hiruk pikuk Jakarta siang ini membuat Hulya pengap sendiri terjebak dalam bus. Klakson kendaraan saling bersahutan seakan menegur agar kendaraan di depannya segera melaju. Bukan hal pertama pula ketika melihat trotoar jalan yang seharusnya digunakan oleh pejalan kaki disalah gunakan oleh pengendara yang tak sabaran. Padahal sekarang baru pukul dua siang, Hulya meringis membayangkan parahnya jalanan ketika memasuki jam pulang kerja sore nanti.

Hidup di kota Metropolitan dengan tingkat persaingan yang ketat seperti ini memang harus pandai-pandai mengambil hikmah agar tak lupa untuk bersyukur atas apa yang dimiliki. Di emperan toko masih banyak orang yang menjulurkan tangan,  berharap orang yang berlalu lalang mau memberi sedikit uangnya. Ada pula anak kecil yang tinggal bertahan hidup dijalanan hanya bermodalkan gitar. Bahkan di antara mereka mencari sesuap nasi dari barang-barang bekas yang dikumpulkan.

Begitulah, manusia kerap membicarakan seberapa besar pencapaian namun jarang mengukur kemampuan mengucap syukur.

Bus yang ia tumpangi berhenti. Hulya yang duduk di bangku depan langsung turun sebelum penumpang dari belakang menyerobot.

Tinggal menyebrang dari halte lalu berjalan dua puluh meter untuk tiba di rumah sakit. Sebelumnya Hulya sempat menawarkan pada ibunya agar meminta rujukan faskes supaya bisa berobat di rumah sakit kawasan dekat rumahnya, tapi ibunya menolak. Alasannya Ibunya sudah sejak pertama mengobati diabetesnya di sini, sebelum bercerai dan pindah rumah. Dan yang terakhir ibunya sudah cocok dengan pelayanan yang tersedia dan terlanjur nyaman dengan dokter internis yang sesama berjenis kelamin perempuan. Lagipula hanya kontrol dua sampai tiga kali dalam sebulan, begitu katanya.

Menginjakkan kaki di sini membuat Hulya teringat kalau minggu lalu ia sempat terbaring di IGD rumah sakit ini juga.

Pandangan gadis itu menyisir ruang poli di lantai satu, mencari sosok yang ia rindukan. Selang beberapa detik senyumnya langsung tertarik lebar melihat wanita berkhimar biru muda duduk di depan poli penyakit dalam tengah berbicara dengan pasien lain.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang