Empat Puluh Tiga

2.2K 317 236
                                    

Hopeless

Sejak lama, Sania sudah akrab berteman dengan kesepian. Batinya pernah berkeluh rindu pada malam-malam setelah melahirkan Hulya ke dunia. Penantian yang tak berkesudahan tak jarang menimbulkan luka yang entah harus ia tutupi dengan apa.

Seharusnya meringkuk sendirian di dalam sel bukanlah hal yang berat karena ia pun sudah membulatkan hati untuk tanggung jawab. Hanya saja kehilangan Tasya masih membuat udara yang ia hirup rasanya terus mencekik.

Di kelopak matanya masih terbayang jelas bagaimana wajah bayi nan menggemaskan itu menangis kencang saat dilahirkan, pelan-pelan tubuh kecilnya merangkak ke sana kemari sampai kaki-kakinya bisa menapaki lantai hingga berani berlari.

Tak bisakah semua itu kembali sebentar saja? Ia akan berikan yang lebih, semampu dan sebisanya agar Tasya tak merasa kekurangan figur di hidupnya.

Sania hanya bisa memeluk diri ketika titik air mata kembali menyusuri pipi. Seluruh rasa bersalah terus menyergapnya tanpa jeda.

Suara langkah yang datang membuat kepalanya mendongak. Seorang sipir perempuan agak terkejut melihatnya menangis. Namun buru-buru Sania menyeka air namanya dan bertanya, "Ada apa, Bu?"

"Pengacara anda datang," jawabnya sambil membuka kunci sel lalu mengantar Sania menemui pria berkepala plontos di ruang kunjungan.

Sania yakin ini soal persidangan perdana di hari Senin nanti. Namun kalimat yang ia dapatkan saat berhadapan dengan pengacara tersebut, malah membuatnya semakin sesak.

"Saya turut berduka untuk Tasya," katanya. "Dan Pak Dharma, syukurnya sekarang sudah sadar meskipun dokter bilang kondisinya masih jauh untuk pulih sepenuhnya."

Sania mengernyitkan dahi. "Sudah sadar?"

"Betul. Ibu sudah dapat kabarnya, kan?"

Belum ada yang mengabarinya. Termasuk Hulya. Ia tak marah, karena pasti anaknya repot dengan berbagai hal hingga lupa. Namun ini tetap kabar baik baginya, dan Sania mensyukuri itu diam-diam.

"Saya boleh minta tolong?" Tiba-tiba ia bertanya dengan nada harap pada pengacaranya.

"Tentu, tolong apa, Bu?"

"Saya mau menyampaikan sesuatu ke suami saya."

"Oh boleh, saya bisa telepon Hulya dulu—"

"Jangan," potongnya dengan cepat. "Jangan sampai Hulya tau. Saya mau anda memberinya langsung ke Pak Dharma."

___________

Dharma bergerak gelisah. Denyut di kepalanya terasa semakin menjadi saja saat melihat sosok yang sedang tersenyum di ambang pintu. Senyum meremehkan sekaligus memuakkan.

"Sudah membaik, Om?" Tanyanya pertama kali, diiringi dengan langkah yang makin mendekat.

"Sebaiknya terus sakit aja. Daripada cepat-cepat sembuh, buat apa? Yang ada anda makin cepat duduk jadi penghuni sel." Tawa di akhir kalimatnya benar-benar membuat rasa kesal Dharma berkali lipat naik.

"Buat apa kamu datang ke sini?"

Andra mendengus kecil ketika nada datar itu terasa mengusirnya secara tak langsung. "Yang pasti sih kasih sugesti buat anda. Masalahnya ini nggak sepele loh, dewan direksi sudah mengantongi semua kebusukan anda. Beberapa agensi juga mulai menarik perjanjian kerja sama, Talktime langsung audit internal. Terus antek-antek anda itu, yang dari finance sampai devisi lainnya sudah dikumpulkan. Gimana? Tinggal menunggu anda aja buat digiring buat dihancurkan."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang