Empat

2.6K 420 60
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
"Kalau ingin hati kita bening, setiap masalah dan musibah jangan masukkan ke hati. Selesaikan. Hati ini bukan tempatnya masalah.
Hati ini tempatny takwa. Yang bikin kita down itu semuanya dimasukkan ke hati."

Ustadz Nuzul Dzikri hafidzhullah

Dekorasi bergaya rustic menjadi hal pertama yang terasa ketika memasuki kedai roti berukuran minimalis ini.

Furniture yang berasal dari bambu dan rotan sangat cocok dengan konsep pedesaan yang memberi kesan alami. Beberapa tanaman hijau di pojok ruangan juga bertujuan mengurangi kebosanan mata saat menatap sekeliling cafe yang serba didominasi warna coklat muda. Ditambah pemilihan lampu gantung yang mirip sangkar. Unik sekali.

Sedangkan di bagian outdoor, pengunjung bisa bersantai di atas hamparan rumput sekaligus piknik. Tempat ini nyaman sekali.

"Walaupun sore, tapi masih rame banget ya, Ci?" Hulya berbisik pada Aci yang baru saja menenggak minuman dari tumbler miliknya.

"Pssst! Itu Bu Isma dateng." Nayla yang memegang camcorder mencolek jari Aci dan Hulya yang ada di atas meja. "Pokoknya kita harus serius, inget loh tenggatnya lusa. So please baca bismillah dulu biar lancar, okey?"

Aci terkikik. "Lo takut ya kalau sampai gagal? Makin jadi buronan Bu Dara deh."

Hulya mengulum senyum, di luar tugas kelompok, Nayla memang sedikit berurusan dengan dosen itu perihal nilai.

Melihat pemilik kedai yang keluar dari ruang pribadi dan berjalan ke arah mereka membuat Hulya bergegas berdiri bersama kedua temannya.

Wanita paruh baya bergamis biru muda melempar senyum hangat, menyalami Hulya, Aci, dan Nayla lalu berbasa-basi sebentar.

"Kalian udah lama nunggunya?"

"Belum kok, Bu. Kita baru sampai sepuluh menit yang lalu," balas Nayla.

"Oh iya, Bu. Terima kasih sudah bersedia diganggu waktunya sore ini oleh kami. Sebelumnya kita juga mau minta maaf karena mengundang ibu untuk wawancara ini secara nggak formal." Aci tersenyum kikuk.

"Nggak masalah, Kak. Pekerjaan saya juga sudah selesai, kalian sudah pesan minum?"

Tentu penawaran itu ditolak dengan halus oleh ketiga mahasiswi tersebut. Aroma roti yang tercium sejak memasuki kedai ini saja sudah membuat mereka gagal fokus. Jangan lagi ditambah aroma kopi.

"Ibu, kita bisa langsung mulai aja ya?" ucap Nayla dengan ramah.

Camcorder sudah terpasang apik pada tripol, Aci yang memegang. Hulya bertugas sebagai pewawancara sedangkan Nayla berdiri di samping Aci memegangi tongkat mikrofon yang tersambung dengan kamera.

Jemari Aci satu per satu mulai turun lalu berseru, "Three, Two, One!"

"Bisnis kuliner merupakan salah satu ragam bisnis yang paling diminati di masa kini. Daya saing di bidang ini pun tak perlu dipertanyakan lagi. Bukan hanya rasa, pemilik usaha juga ramai-ramai mengusung tempat dengan berbagai konsep untuk menarik perhatian serta memperhatikan kenyamanan para pengunjung."

"Kini, di samping saya sudah ada Ibu Isma Maharani sebagai pemilik kedai roti Rin's Bakery. Selamat sore, Bu." Hulya menoleh sambil tersenyum.

Kepala wanita paruh baya tersebut mengangguk dengan seulas senyum ramah. "Sore. Terima kasih sudah datang kemari."

"Sebetulnya, bagaimana awal mula merintis kedai ini? Sudah direncanakan kah untuk sampai mempunyai cabang seperti sekarang?"

"Sebenarnya nggak kepikiran sejauh ini ya. Terlebih keluarga kami nggak ada jiwa-jiwa pengusaha. Saya sendiri lulusan akademi keperawatan, suami pun dokter. Saya punya anak tiga, karena dulu saya nggak full time ada di rumah, jadi tiap sarapan cuma sempet menyediakan roti." Sesaat ia menjeda."Tapi bukan roti tawar yang dibeli di tukang roti atau supermarket loh ya."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang