Tiga Puluh

2K 347 518
                                    

Annoying request

Kedua kelopak yang tadinya terpejam perlahan terbuka. Hulya mengusap-usap pelan matanya, rasa kantuknya belum sepenuhnya hilang namun ia harus kembali terbangun karena gelisah.

Saat ia lirik jam yang menempel di dinding, jarum panjang jam itu menunjukkan ke angka yang sama sejak kemarin-kemarin.

Akhir-akhir ini kualitas tidurnya buruk sekali. Saking pusingnya dengan tidur yang acak-acak, Hulya sampai membutuhkan bantuan obat tidur yang sudah ia konsumsi sejak dua minggu lalu.

Baginya, malam tak lebih dari sekadar racun. Karena semua kenangan dan angan selalu terkumpul saat menjelang tidur.

"Ayah sendiri yang sudah ingatkan dia. Nggak mungkin dia berani macam-macam lagi."

"Kata siapa dia kapok? Dia itu berkali-kali ganggu bahkan lecehin aku lewat perlakuannya! Aku nggak mungkin biarin dia ganggu aku terus lah. "

"Tapi bukan berarti kamu mengakui calon suami kakak kamu sendiri sebagai suami? Kamu gila!"

Berita itu benar-benar berhembus ke telinga ayahnya. Dan sesuai praduga, ia mencecarnya hingga ke akar.

"Ya karena aku nggak tau lagi mau minta tolong sama siapa. Bahkan ayah aku, laki-laki yang seharusnya ada buat lindungi anaknya malah usir anaknya sendiri, kan? Sedikit pun rasa percaya ayah buat aku udah nggak ada."

"Ck, nggak usah panjang lebar. Ayah ke sini cuma mau mengingatkan supaya kamu datang sabtu nanti."

"Apa harus? Apa nggak takut jadi omongan? Ayah malu kan sama aku?"

"Akan lebih jadi omongan kalau kamu nggak datang."

"Maaf, tapi aku nggak bisa. Sabtu nanti aku full sibuk."

"Ayah nggak mau tau. Datanglah sabtu nanti!"

Biar ia jelaskan sedikit mengapa ayahnya begitu ngotot ingin ia hadir. Ayahnya itu orang yang harus serba terlihat perfect,baik dari segi keluarga sampai urusan pekerjaan. Ia ingin terlihat keluarganya harmonis di depan semua orang. Akan jadi pertanyaan besar jika anak keduanya tak muncul. Dharma takut orang mengira ada yang tak beres. Padahal semuanya memang sudah hancur, and all just pieces that he forced into one.

Hulya menghembuskan napas panjang. Energinya tak banyak untuk dipakai berdebat sekarang. Tapi ayahnya terus saja membuatnya melangitkan istigfar berkali-kali.

"Aku nggak bisa."

"Kenapa? Kamu nggak mau ketemu mama?"

Itu ayahnya sudah tau. Kenapa harus memaksanya sih?

"Ya, berhenti lah," Dharma menatap anaknya dengan lekat. "Kamu selalu mikir ayah nggak percaya, jahat, nggak peduli atau lainnya. Ayah marah pun karena ada sebabnya. Jadi anak yang nurut seperti dulu bisa, kan? Dan berhenti buat berprasangka jelek ke mama terus-terusan. Ayah tau dari awal kamu sudah nggak suka, kamu nggak bisa terima, atau mungkin kamu benci. Tapi meskipun dia cuma ibu sambung, kamu nggak bisa asal menuduh."

"Kamu sudah dewasa, kan? Jadi belajarlah membenahi diri. Apa nggak malu kamu, sudah besar tapi bermasalah terus sama orangtua?"

Durhaka itu masih menjadi gelar yang  menakutkan bagi Hulya sampai hari ini, meski ia sendiri pun tak yakin kalau dirinya sudah masuk golongan itu atau belum, mengingat akhir-akhir ini ia terlibat pertengkaran dengan ayahnya. Sungguh ia pun menyesali perbuatannya dan berharap Allah masih mau mendengar ampunannya, namun tak bisakah ayahnya juga mengerti kalau yang ia permasalahkan itu soal ibunya, orangtuanya juga?  Ia tak akan semenggebu-gebu itu kalau ayahnya mau duduk mendengarkan.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang