He is gone
Kini Dharma tahu alasan ia terbaring di sini dengan keadaan yang berantakan.
Jika kecelakaan ini tak terjadi, mungkin ia sudah melarikan diri dan membuat semua makin runyam demi menyelamatkan diri serta asetnya. Jika ia tak terbaring disini, ia tidak akan tahu kalau begitu besar pressure yang didapat Hulya karenanya. Dan sebagaimana yang Sania katakan pada surat itu, ia akan terus menyia-nyiakan figurnya sebagai ayah.Misinya sama, baik pada Tasya ataupun Hulya. Mendapatkan status sosial yang baik di mata orang-orang agar dan dunia tak akan keras menghakimi mereka.
Namun nyatanya dunia yang Dharma ciptakan justru hanya berisi awan gelap beraungkan kehampaan yang mematahkan sayap kedua putrinya.
Hatinya makin bergetar ketika ingat sederet kalimat dalam surat Sania tadi.
Dia pulang sendirian. Tanpa kita. Tanpa orang yang dulu membawanya ke dunia.
"Tasya ... dia bagaimana, Ka?"
Arka dibuat tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Ia bisa saja menjawab sebenarnya, tapi siapapun pasti akan kesulitan menyampaikan pada orang yang kondisinya seperti Dharma sekarang.
"Apa benar ... " Nafasnya tertahan sejenak, matanya menatap intens Arka yang terdiam. "Benar dia sudah .... meninggal?"
Arka yakin gangguan kecemasan yang diidap Hulya hanyalah sejengkal fakta tersembunyi yang tak pernah Dharma gali. Sekarang, saat ia mengetahui sedikit demi sedikit tentang semuanya tak ayal hanyalah bagian dari penyesalan.
Begitupun jika ia tahu Tasya telah berdamai dengan malaikat maut tanpa ada yang menemani, seorang diri, di penjuru sebuah kamar VVIP yang sunyi malam itu. Ditambah lagi Tasya pernah bercerita jika sakitnya sudah sangat lama terasa, tapi ia tak mengatakan pada Sania sebab dulu mereka hanya tinggal berdua.
Tasya tak ingin ibunya lebih lelah memikirkan banyak hal karena mengingat Sania lah kepala keluarga sekaligus tulang punggung juga. Dan itu salah satu penyebab Sania tak begitu memperhatikan Tasya. Begitu ucap Tasya dulu.
"Ka, jawab ... " Tak tahan dengan diamnya dokter itu membuat Dharma mendesak. "Saya perlu tau ... saya ayahnya."
Pelan Arka mengangguk."Delapan hari lalu. Jantungnya nggak tertolong karena komplikasi itu."
Deg
Sesuatu melebur dalam hati Dharma, terasa sempurna kala penyesalan itu semakin menjalar ke jiwanya yang paling dalam. Rasanya masih lekat pelukan hangat yang pernah Tasya berikan ketika bertemu dengannya setelah berpisah sekian lama. Rasanya baru kemarin ia memuji banyak hal tentangnya. Rasanya baru kemarin ia berpesan sebelum berangkat agar Tasya menunggunya pulang.
Namun sekarang ... rasanya ia tak percaya dengan apa yang Arka ungkapkan.
Mata Dharma yang berkaca menatap lurus ke depan. Merasakan seluruh perasaan yang tak bisa ia artikan lagi.
Ini salahnya.
Andai ia tak pernah tinggalkan Tasya meski dulu hubungannya merusak dengan Sania, harusnya ia tak perlu merusak perasaan Tasya dengan rasa hampa juga.
Seharusnya ia sadar betul jika Tasya yang dengan mudah memaafkan dirinya bukanlah karena ia telah memiliki segalanya, tapi memang sudah lama ia merindukan ayahnya hingga rasa bencinya kalah talak. Hatinya memang seluas itu menerima segala kebusukan Dharma hanya karena ia terlalu mengharapkan sosok yang di sebut ayah.
Sekarang ia harus tebus semua dosanya dengan apa?
Dharma memejamkan mata erat. Merasa seluruh waktunya telah berlaku secara percuma.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]