More than love
Mulai semalam ribuan hal memadati selasar kepala Hulya. Cincin yang tersemat di jari sudah tak begitu menarik lagi baginya, karena hanya akan memantik ingatan pada tenggat waktu yang terus hitung mundur.
Seperti yang dikatakan Arka semalam, mereka berdua memang perlu banyak bicara satu sama lain. Namun mengingat keduanya sama-sama baru mau memulai, maka ia rasa perlu ada pihak ketiga yang bijak mendengarkan. Sekaligus memberi nasihat dari perbedaan-perbedaan mereka.
Jadilah mereka sepakat bertemu di Nurul Iman lantai tujuh, tempat dimana Nayla dan Hulya biasa menghadiri kajian salah seorang ustadz tiap Sabtu malam. Di akhir kajian, tepatnya sehabis melaksanakan shalat isya. Mereka merapat meminta waktu sebentar.
"Carilah alasan selain cinta kenapa kalian harus menikah."
Keduanya saling bertukar pandangan sejenak, lalu diam dan mulai meraba jawaban dalam batin dan pikiran.
Hulya sadar, seharusnya tanpa ditanya pun, ia sudah harus berpikir semenjak Arka mengutarakan niatnya pertama kali.
Betapa banyak yang saling mencintai, tapi pernikahan mereka justru tidak berkahi. Bahkan tak sesuai harapan yang berujung pada perceraian. Karena Iman, Rasulullah sabar ketika dirumahnya hanya tersedia cuka lalu memakannya. Karena Iman, Ali Bin Abi Thalib sabar menjadi kuli menimba air dengan upah segenggam kurma. Karena Iman, Fatimah Az-Zahra sabar menggiling gandum hingga tangannya melepuh.
Diantara iman dan cinta, jelas cinta adalah makmun dan iman lah yang harus menjadi imamnya. Sebab tidak semua cinta akan melahirkan Iman. Namun semua iman akan melahirkan cinta.
"Khusus laki-laki jadi dua, selain cinta dan cantik. Awas aja kamu jawabnya itu," tambah sang ustadz sambil tertawa kecil.
Peringatan itu menularkan tawa pada Arka. "Engga ... Manner, mindset, attitude, itu lebih esensial kayaknya buat laki-laki seumuran saya ini. Tapi jauh sebelum itu, saya menilai Hulya punya koneksi yang baik sama Allah. Saya harap dengan menikahi orang yang disayangi oleh Allah, akan menjadikan saya sebagai orang yang dekat juga sama Allah."
Nayla menyikut pelan tangan Hulya. "Bukan green flag lagi ini mah, tapi green forest saking hijaunya."
Sedangkan yang dibisiki pelan hanya memutar malas bola matanya. Sempat-sempatnya Nayla kepikiran sampai sana.
"Lalu kamu bagaimana?" Giliran pertanyaan itu ditujukan untuk Hulya.
"Dia memenuhi empat pokok sunnah yang disebutkan dalam mencari pasangan," jawabnya, agak spontan.
"Sesingkat itu? Nggak ada faktor lain?"
Hulya menghembuskan napas. Banyak sebenarnya, hanya saja jika boleh memilih, Arka jangan mendengarnya sekarang. Khawatir makhluk itu akan besar kepala.
"Saya tumbuh dengan figur ayah yang perannya krisis. Sama sekali saya nggak membenci beliau, hanya saja saya nggak akan menikah dengan laki-laki seperti ayah." Rasanya secara garis besar alasan keyakinannya memang bermula dari sini. "Kelak saya ingin orang tersebut bisa membimbing dengan lebih baik, konsisten pada ucapannya, punya self control yang nggak mudah meledakkan emosi, dan sifat-sifat lain yang sebelumnya saya lihat di figur terdekat dalam hidup saya."
"Hampir tiga tahun mengenal Arka, saya nggak menemukan itu semua ada di dirinya. Dengan akhlak dan taatnya, saya tau dia hamba yang takut dengan Tuhannya," Lanjutnya tanpa mau menengok reaksi yang bersangkutan.
"Kalian kenalnya sudah lama? Sudah tau sholat masing-masing seperti apa?" Ustadz Dzikir menjeda ucapannya sebentar. "Kenapa ini penting dan perlu dipertanyakan, karena perbuatan manusia itu berbanding lurus dengan shalatnya. Kalau sholatnya benar, dia pasti nggak akan mencampuri dengan hal yang dilarang atau bikin Allah murka."
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]