Dua Puluh Empat

2.3K 365 229
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━

Have you ever felt this? Merasa sepi di tengah keramaian.

Tujuh ribu dua ratus detik berada di dalam gedung bernuansa silver ini membuat Hulya berulang kali menghela napas bosan. Sedangkan jarum jam yang hampir menunjukkan angka sepuluh berimbas pada matanya yang mulai terserang rasa kantuk.

Di kepalanya, masih terngiang-ngiang penjelasan hasil pemeriksaan jenazah ibunya meski sudah seminggu lalu disampaikan. Sepulang mengambil hasil sudah perlihatkan pada ayahnya dan meminta saran bagaimana baiknya, tapi justru sekarang Hulya menyesal telah melakukannya.

Tak ada jalan keluar, selain ikhlas. Begitu kata ayahnya.

Padahal ikhlas pada hal yang salah itu dilarang, bukan?

Ia rasanya hampir gila karena tak tahu harus bagaimana lagi. Jika ia angkat kasus ini, buntutnya pasti akan sangat panjang dan Hulya tak yakin akan memenangkan praduganya dengan berjuang seorang diri. Tapi ... bukankah memang tak ada yang peduli lagi selain dirinya? Ibunya hanya memilikinya, kan?

Jujur ia masih abu-abu untuk terus lanjutkan semuanya. Mengingat hal pertama ia tak punya dana memadai, karena Hulya yakin menyewa pengacara, melakukan autopsi hingga keperluan ini itu hingga sidang membutuhkan tak sedikit uang. Ia tak punya tabungan banyak, dan ayahnya pun tak mau membantu. Ini saja jelas sudah membuatnya buntu duluan.

Hulya membuang napas panjang. Lagi-lagi bingung mencari solusi sendiri. Ia pandang punggung ayahnya yang ada di depan sana, duduk di apit oleh para kolega dan tenggelam dalam obrolan pekerjaan.

Sedangkan Sania, gaun maroon-nya tampak kontras di antara para wanita yang Hulya tebak para istri rekan ayahnya. Entah apa yang dibicarakan, tapi sekilas saat Hulya menoleh ke meja sebelah, salah satu diantara mereka mengeluarkan katalog mini berlian dari tas hijaunya. Yeah, you can call it an impromptu promotion.

"Tiga puluh lima juta ya? Artinya deal nih jum'at lunas?" si pemilik katalog berucap pada Sania.

Ibu tirinya hanya mengangguk sambil menutup kotak perhiasan berwarna putih itu.

Hulya meringis saat sayup-sayup nominalnya disebutkan. Apa itu tidak berlebihan ya untuk sekadar barang yang akan dipajang di tubuh? Bukan masuk kategori keinginan pula, kecuali kebutuhan yang urgensinya jelas. Yah boleh saja sampai merogoh kocek segitu.

Dengan malas ia bangkit dari duduknya dan berniat ke toilet melalui lorong yang ada di sayap kanan venue. Melewati lorong yang tak seterang venue seorang diri tak lantas membuatnya takut, namun tiba-tiba lengannya di tarik dari belakang. Hulya berjeringit kaget, ditambah heels lima centi yang ia pakai membuatnya oleng hingga tak sengaja membentur dada orang tersebut.

"Hai," sapa pria berkemeja putih yang dibalut jas silver. Senyumnya membuat Hulya mual seketika dan langsung menghentakkan tangannya.

"Aku mau samperin kamu dari tadi, tapi belum sempat karna kumpul sama yang lain dulu."

Hulya melipat tangannya, menatap malas Andra yang kembali muncul hari ini. Tak ingatkah ia terakhir kali pertemuan diantara mereka berakhir dengan jurnal yang melayang? Apa itu tak cukup membuatnya kapok menyapa Hulya?

"Kamu badmood banget keliatannya. Padahal, you look cuter with this light make up."

Yang dipuji membalas dengan senyum remeh. Ia berani bertaruh jika ia bukanlah perempuan pertama yang diberi ucapan manis itu.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang