Empat Puluh Satu

2.2K 376 314
                                    

Unforgettable Memory


Waktu pertama kali mama bilang aku punya adik, sempat ada rasa nggak percaya dan perasaan sedikit kesal. Karena dulu aku butuh teman buat tiup lilin kalau lagi ulang tahun. Aku butuh teman buat berebut mainan dan baju, aku butuh teman buat banyak hal yang mengisi hari-hari masa kecil aku yang kesepian, Ya.

Tapi Tuhan baru mempertemukan kita di waktu dewasa. Dimana di diri kita masing-masing sudah punya banyak luka. Ego aku pun udah terlalu tinggi buat mengakui kamu.

Rasa iri dan benci nggak sekali menyelimuti hati aku ketika tau kamu selama ini hidup lebih nyaman daripada aku meski kita berasal dari rahim yang sama. Hidup kamu berkecukupan, ada ayah, dan sekalipun kamu nggak sama mama, tapi ada perempuan yang luar biasa sayang sama kamu layaknya ibu sendiri. Berbanding terbalik dengan aku yang bertahun-tahun hidup sama mama yang waktunya habis buat kerja menghidupi kami berdua. Nggak jarang aku jadi merasa kurang disayang.

Aku iri karena terlalu capek sama kesuyian diri, Ya. Sesekali aku mengutuk takdir yang nggak adil ini karena semua anak memang mau hidup sama cinta.

Tapi saat tau hidup kamu selalu ditekan dalam banyak hal, ternyata semuanya memang sama-sama memuakkan.

Kalau boleh diulang, aku nggak pernah mau berjarak sama kamu, Ya.

Maaf. Maafin aku ...

Seharusnya dari awal aku bisa menerima kamu dengan baik, tapi banyaknya benci dan ketakutan yang kusimpan menjadikan kita seperti dua orang yang bermusuhan.

Dan sekarang semuanya berlabuh pada penyesalan besar. Di saat waktu hidup aku yang kritis ini, kamu tetap berlaku baik dan peduli. Tapi aku merasa waktu nggak akan memberi kita kesempatan lebih lama untuk saling mengasihi.

Mungkin saat kamu baca surat ini pun, aku sudah terlalu jauh pergi. When the news of my death reaches you, don't weep. Just make a du'ā for me. I'll be needing it and if you can, please forgive me.

Titip mama ya? Kamu harus percaya kalau dia nggak sejahat itu. Dari dulu, mama selalu mendambakan kehadiran kamu. Dia nggak pernah sedikit pun lupa meski kalian terpisah lama.

Aku ... pulang duluan, Ya.

Maaf aku nggak bisa temani kamu buat makan es krim di Wahana. Itu ajakan kamu waktu aku sakit, kan? Aku dengar kok, karena sebenernya aku pura-pura tidur waktu itu hehehe...

Aku nggak tahu kamu suka bunga atau enggak. Tapi ini sebagai tanda terima kasih aku karena kamu udah temenin aku selama sakit.

Sebagai salam perpisahan, boleh ya kamu peluk aku agak lama. Kita kan belum pernah pelukan selama ini. Untuk yang pertama dan terkahir ...

Your beloved, sister.
Ralina Natasya

Akhir surat itu bukan sebuah tanda untuk Hulya mengakhiri tangisnya juga.
Arus waktu kembali menyeretnya masuk pada pusaran kesedihan yang berhasil meremukkan seluruh hatinya. Entah dimana puing-puing hati itu berada. Yang jelas ia merasa berdiri di antah-berantah kala selesai membaca surat yang diselipkan di buket yang ada di nakas.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang