Dua Puluh Enam

2K 346 302
                                    

Bad night

"Ma, perasaan rindu ini sama sekali belum juga hilang semejak malam itu. Iya, sejak malam seluruh pijakan dunia aku terasa runtuh, waktu mama nggak mau membuka mata lagi walaupun aku memohon puluhan kali.

Ma, tiap malam aku susah tidur dan setiap bangun aku cuma menghela napas panjang. Lagi-lagi aku sadar harus melewati hari tanpa mama; sarapan, merancang baju, minum jus di teras waktu sore dan banyak lagi. Oh ya, pulang kuliah kemarin aku langsung tidur saking sakitnya perut gara-gara tamu bulanan, dan mama tau? Aku baru bangun pas suara adzan maghrib. Beberapa detik aku tertegun di kasur, aku sadar bahwa sekarang suara cerewet mama nggak terdengar lagi buat suruh aku bersih-bersih dulu sebelum istirahat. Pun saat aku lupa makan, alarm makan aku bukan suara teguran dari mama lagi, tapi dari rasa perih yang tiba-tiba muncul.

Rumah ini sepi, aku sendirian. Aku sendiri di sini ...

Tapi tenang, Ma. Seiring waktu, aku pasti terbiasa. Aku janji akan belajar berdamai dengan semua rasa kosong dan rindu ini."

Secarik kertas tak sengaja jatuh saat Dharma merogoh mini bag Hulya saat mencari kartu identitas anaknya untuk keperluan administrasi rumah sakit kemarin malam.

Untuk beberapa saat ia merasa hatinya ikut teriris membaca pesan singkat yang tertulis itu. Ia tak perlu meragukan rasa kasih Hulya pada wanita penuh welas asih yang ia nikahi dua puluh satu tahun lalu tersebut.

Pun Amira, ia selalu bersedia menuntun tangan kecil Hulya saat dulu belajar jalan, selalu menarik Hulya dalam dekapannya jika petir menyambar saat hujan malam hari dan selalu hadir di bangku pentas seni bahasa sambil bertepuk tangan bangga.
Tanpa ragu wanita itu memberikan seluruh dunianya bagi Hulya.

Dan bagaimana bisa Hulya tak begitu mencintainya juga? Tapi mirisnya, sebesar apapun cinta itu, masih ada cinta penuh harap sejak dulu yang tak pernah ia balas, bahkan tak pernah ia ketahui.

Suara pintu terbuka membuat lamunannya buyar, diiringi langkah tergesa yang membuat Dharma segera bangkit duduknya.

"Loh? Ya? Kamu-"

Kekagetannya terhenti saat Hulya langsung memeluk dirinya dengan sebelah tangannya yang normal dan menangis kencang.

"Ya, kamu kenapa?" Dharma benar-benar tak mengerti mengapa anaknya yang seharusnya masih harus di rumah sakit tiba-tiba pulang dengan keadaan memprihatinkan begini.

Belum habis kebingungannya mendengar isakan Hulya yang belum kunjung reda, tak lama beberapa menit Sania muncul dengan wajah tegang dan napas yang tak beraturan. Sepertinya mereka tak berangkat secara bersama-sama kemari. Rautnya saja sudah berbeda, pasti ada apa-apa.

"San, ada apa ini?"

Hulya melonggarkan pelukannya. Menatap Sania yang tergugup di tempat.

"San!"

"Ayah nggak perlu tanya ke perempuan itu. Dia pasti mau berkelit lagi!" ucap Hulya yang kini sudah melepaskan pelukannya dan menatap nyalang ibunya. "Satu keputusan yang salah besar ayah pilih perempuan ini. Dia datang tanpa tau malu, merebut semua yang ada di sini, bahkan bahagia mama dia ambil disisa umurnya. Dan nggak cuma itu ... dia juga tega ambil nyawa mama, Yah. Dia ... d-dia orangnya .... " Tangisnya kembali pecah. Hulya akan menerima apapun konsekuensi yang mungkin akan terjadi setelah ini. Yang terpenting, ayahnya harus percaya.

Raut kaget dan bingung tampak di wajah ayahnya. Beberapa saat ia diam, mencerna, sambil menatap Sania yang kini menggeleng lemah dengan mata yang berkaca-kaca juga.

"Ya, maksud kamu apa tiba-tiba bicara soal ini?" Dharma mendengus. "Ayah tau kamu belum bisa sepenuhnya menerima kepergian mama kamu. Ayah paham, Ya. Tapi jangan begini, kamu nggak punya bukti apapun buat menuduh mama." Nadanya cukup rendah ketika bicara itu, sayangnya Hulya tak segan menyambar lagi karena emosinya meluap sejak tadi dan ayahnya malah mengira ia bicara asal.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang