Dua Puluh

2.9K 409 186
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
The wind doesn't blow to shake the trees, but tests the strength of their roots.

Ali bin Abi Thalib

Jemari itu bergerak acak mengetuk meja dengan pelan. Sudah hampir dua menit hanya hening yang mengisi di meja nomor delapan itu.

Dia, pria paruh baya yang sudah menampakkan beberapa uban di kepalanya juga mulai menunjukkan ekspresi tak terbaca saat Hulya selesai menceritakan kronologi pada saat ibunya tewas mendadak.

Hulya menggigit bibir, ia sungkan mengeluarkan suara lebih dulu untuk bertanya bagaimana tanggapan direktur Sapta Farma tersebut.

"Jadi rumah sakit menduga kuat kejadian itu terjadi karena keracunan?" ulang pria paruh baya itu.

Hulya mengangguk. "Betul, Pak."

Satu helaan napas keluar dengan berat. "Berarti memang ada yang nggak beres di obat itu," gumamnya.

"Begini, Hulya." Ia berdehem sejenak."Kami berjanji akan bertanggung jawab kalau memang ada unsur kelalaian dari pihak Sapta Farma. Tapi dari yang saya tangkap barusan, ini mungkin nggak sih ada unsur kesengajaan dari pihak tertentu?"

Kening Hulya berkerut. Belum sempat bertanya, Pak Rahadian berbicara lagi. "Kalau kesalahannya dari pabrik, rasanya nggak mungkin cuma satu yang bermasalah. Secara kan diproduksinya bersamaan."

"Nanti saya bakal suruh orang kepercayaan saya buat sidak apotik cabang itu. Kami bantu cari tau. Karena takutnya ada campur tangan karyawan kami yang ikut membantu."

"Memangnya sempat ada yang begitu, Pak?" Spontan Hulya bertanya.

"Ada, kasus tahun 2012 lalu. Obat darah tinggi ditukar dengan arsenik bubuk yang dimasukkan dalam bentuk kapsul."

"Parahnya yang tewas itu petinggi di Kejaksaan Negeri. Sampai sekarang karyawan itu masih mendekam. Saya lupa jelasnya dihukum berapa tahun, tapi kalau nggak salah lima belas. Padahal dia bukan otak dari pembunuhannya."

"Terus siapa, Pak?"

Pak Rahardian mengulas senyum kecil. "Istrinya sendiri."

Mata Hulya membulat.

"Hah pusing juga kalau ingat kasus itu, Ya. Yang punya masalah rumah tangga siapa, yang nanggung rugi sahamnya malah kami."

Kalimat itu berhasil mencairkan suasana karena memantik tawa diantara mereka.

Semua tak berlangsung lama, ketika Pak Rahadian menatap serius ke arah Hulya sambil berucap, "Hulya, apa nggak sebaiknya ini sekalian saja dibawa ke meja hijau? Kalau memang ada unsur pembunuhan berencana bagaimana?"

Yang ditanya hanya diam karena belum punya pikiran sejauh itu.

Arka menghelanapas berat. "Sulit, untuk sekarang karena bukti aja belum ada. Apalagi bukti otentik. Salah-salah malah Hulya sendiri yang jadi tersangka."

"Oh, karena dari awal sampai kejadian semua bukti mengarah ke dia?" Pak Rahardian terlihat menimbang sesuatu. Namun tak lama rautnya kembali terlihat mengendur. "Sayang sekali sih nggak diautopsi ataupun di visum jenazah beliau. Padahal itu bisa kunci utama kejanggalan."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang