Collapse
Tak terlintas bahwa hari ini akan jadi hari yang panjang. Hulya melirik jam yang menggantung di dinding, pukul tujuh malam dan belum ada tanda-tanda BAP Sania akan selesai.
Sesuai permintaan Sania, Hulya menurutinya.
"Kalau dengan membusuk di penjara bisa membuat kamu mau memaafkan semua dosa mama, silakan lakukan ... "
Ia benar-benar menelpon polisi dengan membawa laporan terkait pembunuhan berencana terhadap ibunya yang meninggal 2 bulan lalu dan pelakunya hendak menyerahkan diri.
Tak ada pemberontakan dari Sania saat kedua tangannya diborgol dan giring masuk ke mobil. Hingga mereka berakhir di sini, di interogasi dengan serius dan menekan Sania berkata jujur sampai proses BAP dilakukan.
"Kenapa anda baru melapor kalau memang sedari awal kematian sudah janggal?"
"Saya sudah curiga, tapi belum punya bukti apapun waktu itu. Saya juga masih terpukul berat karena kehilangan. Sampai akhirnya saya mengangkat telepon dari hp ibu tiri saya dan ya ... beliau mengakui."
"Saya minta keterangan saksi lain. Silakan hubungi suami Bu Sania untuk datang ke sini."
Salah satu di antara mereka pun menelpon ayahnya. Hulya tahu jika mulai malam ini semuanya akan berubah drastis. Sebab semuanya akan terungkap secara perlahan, baik soal kejahatan Sania maupun ... hal lainnya.
Setibanya Dharma dan Tasya di kantor polisi, tatapan tajam keduanya langsung menghunus dirinya. Namun sayangnya Hulya tak terpengaruh atau gentar, apa yang hendak terjadi biar saja. Daripada masalah ini terus larut tanpa kejelasan. Hendak sekeras apapun mereka membela wanita itu dengan berbagai alasan, membunuh tetaplah tindakan salah. Tak berlaku sedikit pun sistem toleransi pada perbuatan tersebut.
Akhirnya tepat pada pukul sepuluh malam Berita Acara Pemeriksaan barulah selesai. Semua pertanyaan dijawab dengan lancar oleh Sania, ia tak mengelak barang sedikit pun. Semua bukti berupa chat dan log panggilan juga diperlihatkan terang-terangan. Alhasil polisi sudah mengantongi dua nama lagi yang menjadi kaki tangan Sania bernama Tara dan Daffin untuk dipanggil.
Bukti yang sudah cukup membuat Sania resmi ditahan selama dua puluh hari ke depan karena proses pemeriksaan akan naik ke penyelidikan.
Dharma mengusap kasar wajahnya ketika mendengar keputusan itu. Ia menyesal saat datang kemari terburu-buru tanpa pengacara. Semuanya terlalu mengejutkan.
Saat hendak berjalan keluar, mata Hulya tak sengaja bertabrakan dengan mata Sania yang kini menatapnya dengan kosong. Dalam beberapa jam, wajahnya juga cukup berubah drastis menjadi pucat.
"Maaf ... " Hanya kata itu yang keluar, dengan nada rendah penuh keputusan asaan. Setelahnya ia benar-benar di giring oleh dua sipir perempuan.
Dharma tak langsung pulang, ia sibuk menelpon seseorang lalu berbicara-entah soal apa-dengan dua orang yang memeriksa Sania barusan.
Sedangkan Tasya yang juga baru keluar dengan tanpa aba-aba meraih tangannya untuk diseret masuk ke dalam mobil putih miliknya.
"Lepasin!"
"Kalau lo berani keluar, jangan harap lo bisa liat matahari besok!" Ancammya.
"Aku nggak peduli!" balas Hulya tak kalah sengit sambil mendorong tubuh Tasya. Namun gerakannya kalah sigap dengan kakaknya yang memiting tangan kirinya yang belum sepenuhnya sembuh hingga muncul bunyi keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]