Lima Belas

2.4K 386 167
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━
Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu.

Ali bin Abi Thalib

Rutinitas yang padat pada minggu ini lumayan membuat Hulya lupa pada kerikil-kerikil di keluarganya. Menjelang semester 5, dunia perkuliahan makin terasa saja hectic-nya. Ditambah kegiatan LDK yang Hulya akui begitu menyenangkan dan begitu sayang jika dilewatkan. It's complicated.

Kesibukannya juga berimbas pada fokusnya membantu Amira mengelola usaha jahit dan olshop Tanisha Daily. Dan ketakutannya benar-benar terjadi saat ibunya kebanyakan mengerjakan semuanya sendiri dan berakhir kelelahan.

"Mama yakin nih bisa aku tinggal? Aku baru selesai kelas sampai sore loh."

Bibir pucat wanita paruh baya itu mengulas senyum. "Nggak apa-apa, Ya. Ini cuma terlalu capek aja mungkin. Nanti juga enakan kalau udah istirahat."

Hulya meletakkan mangkuk berisi bubur itu sembari membuang napas panjang. Khawatir tak kunjung usai menyelinap di hatinya meski ibunya berulang kali meyakinkan. Pasalnya, ia semakin sering mendapati ibunya meringkuk lemas di tempat tidur. Wajahnya sesekali pucat, membuat Hulya gelisah sendiri.

Saking penasarannya, ia sempat beberapa kali membuka situs kesehatan untuk mencari tahu. Namun, Hulya tetap lah anak komunikasi yang mengalami keterbatasan memahami lebih jauh persoalan medis macam itu. Otaknya tak banyak mengerti, yang ia paham faktor kelelahan ibunya adalah karena insulin¹ tak bekerja secara efektif sehingga gula dalam darah tidak masuk ke dalam sel tubuh. Akibatnya, sel tubuh tidak menerima energi yang dibutuhkan dan menyebabkan seseorang lebih mudah lelah dan lemas.

Jika diperhatikan lebih lama dan dekat seperti ini, Hulya juga menyadari pipi Amira lebih tirus daripada bulan sebelumnya.

"Mama, kita ke dokter aja ya?"

"Kan jadwalnya minggu depan."

"Iya sih. Tapi ini mama lagi sakit loh, panasnya nggak turun dari semalem. Kita bisa cek yang jelas kalau di sana."

"Oh atau gini aja, aku telepon dokter Amel supaya mama stay di rumah aja, tapi tetep diperiksa. Mau ya?"

Bermacam tawaran-dengan sedikit nada paksaan-tersebut tak Amira gubris. Justru ia tersenyum kecil, membuat Hulya heran dan setengah kesal. Bukannya kesal diacuhkan, namun ibunya ini terlalu santai pada kondisi yang tiba-tiba drop. Berbanding terbalik dengan perasaan Hulya yang tak karuan.

Tangan Amira perlahan menggenggam jemari Hulya. Memberi afeksi yang luar biasa menenangkan bagi seluruh perasaan.

Hulya membuang napas panjang. "Ya udah nggak usah ke rumah sakit. Tapi makan lagi ya?"

Amira menggeleng lemah. "Nanti lagi aja, Ya. Mulut mama bener-bener nggak enak nerima makanan."

"Yah, kalau gitu gimana mau minum obatnya?" Belum juga separuhnya, Amira sudah berhenti. Bagaimana ia tak dilema kalau begini?

"Nggak apa-apa. Tolong ya, ambilin obatnya." Amira menunjuk nakas. Mau tak mau Hulya benar-benar menyudahi kegiatan menyuapi ibunya makan.

Saat ia membuka laci dan mendapati kaplet obat yang hampir habis, barulah Hulya menapaki titik sadarnya untuk berkaca. Sebenarnya, sudah sememaksimal apa waktunya untuk memperhatikan keperluan ibunya?

Seharusnya ia lah yang paling aware pada hal-hal seperti ini. Jangan sampai menunggu obat habis lalu baru disuruh. Rasanya lisan ini hanya berdusta saat mengatakan khawatir terhadap kesehatan ibunya.

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang