Empat Belas

2.4K 378 160
                                    

H U L Y A
━━━━━━━⊰✿🌹✿⊱•━━━━━━━

"Kalau kita percaya masalah itu datangnya dari Allah, seharusnya kita juga yakin kalau masalah itu akan selesai jika kita kembali berserah dengan Allah."


Ada fase dimana beberapa hal tak perlu diberitahu, cukup kita yang mengalami, merasakan dan memikirkannya sendiri. Diumurnya yang ke dua puluh tahun, Hulya jarang mengadu nasib pada orang. Bukan karena malu atau sebagainya, namun ia tahu bahwa tak semua orang datang padanya dengan rasa peduli. Kadang orang hanya ingin menuntaskan rasa penasarannya saja, setelah itu selesai.

Sekalipun ada teman yang dekat dan dipercaya, bisa dihitung pakai jari Hulya berbagi cerita.

Dengan bosan Hulya memainkan titik-titik air dari gelas berisi es kopi miliknya sembari menunggu kedatangan yang lain. Bukan rapat besar sebenarnya, hanya beberapa pengurus inti dan kepala sekbid untuk membahas acara pekan depan.

Ia sengaja datang dua puluh menit lebih awal. Pikiran kusut, Hulya ingin duduk sendiri untuk memulihkannya barang sedikit.

"Sendirian?"

Hulya mendongak. Kaget melihat kakak tingkatnya tengah berdiri di depan meja. Detik itu juga ia ingat jika Rin's Bakery ini milik ibunya Rendy. Tak heran anaknya ada di kedai ibunya.

"Gue duduk di sini ya?"

Hulya mengangguk saja meski sejujurnya ia sedang malas terlibat obrolan. Suasanya hatinya sedang tak baik. Bawaannya hanya ingin diam, diam dan diam.

"Ngapain di sini? Ada janji sama orang?"

"Mau kumpul bareng temen LDK aja, Kak. Cuma ini mereka belum pada dateng aja." Meski ada pepatah yang mengatakan 'Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali'. Namun semoga saja teman-temannya tak dalam mode ngaret untuk segera datang kesini.

"Oh iya," teringat akan satu hal, pria berkaus hitam itu membuka tasnya untuk mengambil sesuatu.

"Dulu gue udah janji mau pinjemin kan? Kebetulan tadi gue bawa ini ke kampus, tapi malah ketemunya di sini." Tiga buah buku ia geser ke hadapan Hulya. Padahal Hulya saja sudah lupa dengan janji yang Rendy sepakati seorang diri. Mood-nya untuk membaca sedang tak bagus, tapi kalau ditolak juga rasanya tak enak.

"Ini yang satu bukan bukunya Bung Seno, Kak," kata Hulya saat melihat tiga buku barusan.

"Emang."

Hulya meraih buku bersampul sisi wajah seorang perempuan yang hidungnya memerah berjudul 'A UNTUK AMANDA', lalu membaca sinopsisnya sekilas.

Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan? Saat menemukan kalimat tersebut rasanya mengena sekali di hati Hulya. Ini berlaku untuk seluruh manusia, kan?

"Kakak udah baca ini?" tanya Hulya yang, yang langsung dijawab anggukan. "Let's spoiler please?" sambung gadis itu lagi karena mulai penasaran.

Pria itu mendengus pelan. "Bilang aja males baca."

Baiklah, ketusnya mulai mode on. Padahal hanya bocoran, tiga kalimat juga cukup. Tapi ini Rendy, beda kamus.

Ia pikir Rendy benar-benar tak niat menjawab pertanyaannya tadi. Namun ketika Hulya sibuk memasukkan ketiga buku itu ke dalam tote bag khaki miliknya, Rendy justru baru menimpali.

"Hei, Na," panggilnya dengan nada santai.

Hulya kembali menatapnya. "Ya?"

"Itu buku cocok buat lo. Supaya lo tutup kuping pas bokap lo julid soal nilai, soal akademik, soal masa depan. Nggak selamanya jadi orang perfect itu mulus-mulus aja. Gagal itu pasti ada dan capek juga wajar sebagai manusia."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang