Tiga Puluh Empat (1)

1.9K 358 473
                                    

Wounds from the past

Semakin dewasa rasanya pernikahan bukanlah hal menarik yang harus Hulya lakukan segera. Bukannya ia tak ingin melaksanakan ibadah yang jangkanya paling panjang tersebut. Tapi sudah puluhan kali ia katakan, ketakutan dalam dirinya jauh lebih besar.

Ungkapan 'kebanyakan para anak itu bercermin pada pernikahan orangtuanya'  memang benar ia rasakan. Dibesarkan dengan krisis figur seorang ayah, dikecewakan dengan pernikahan tidak sehat kedua orangtua dan mengetahui adanya perselingkuhan sudah cukup menjadi alasan Hulya untuk mundur teratur dari barisan antrian nikah muda.

Sungguh Hulya menyayangi Dharma sebagai ayahnya, tapi ia tak mau menikah dengan sosok pria sepertinya.

Mungkin orang menganggap dirinya terlalu berlebihan, tapi hidup dalam bayang-bayang dan kerap dipatahkan oleh orangtua sendiri itu sebuah luka. Luka yang bahkan Hulya sendiri tak tahu kapan bisa ia tutup sempurna.

Dituntut agar bersikap dewasa, diharuskan paham arti perpecahan, dimaki dengan perkataan yang membuat telinga panas, ditampar saat sudah muak dan sering dijatuhkan melalui berbagi perspektif negatif. Tanpa sadar semua perlakuan ayahnya sendiri lah yang memotong kedua sayapnya untuk terbang tinggi.

Hulya hanya bisa menelan kecewa.

Sama seperti semua usaha ayahnya yang kini jelas-jelas membela Sania karena kasusnya akan naik ke tahap gelar perkara sabtu nanti dan jika semua berkas telah dirampungkan, kasus ini bisa naik ke kejaksaan.

Jelas ia kecewa karena ayahnya lebih mementingkan impact pada jabatan dan pekerjaannya saja dibanding mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.

Dan hari ini Hulya kembali datang ke polres bersama ibu Nayla yang memang berprofesi sebagai advokat. Mereka cukup mengenal karena beberapa kali Hulya sempat berkunjung ke rumah Nayla. Berhubung berita kasus Sania ramai, akhirnya Bu Rahnia menawarkan diri untuk membantunya.

"Apa kami nggak mau bertemu dengan Ibu dulu? Menginfokan soal Tasya mungkin?" tanya Bu Rahnia saat keduanya sudah selesai dan mulai berjalan ke luar.

Ia datang kesini memang niatnya untuk memenuhi panggilan mengenai beberapa hal, bukan untuk bertemu Sania.

"Ayah kayaknya sudah kasih tau, Bu."

"Yakin? Nggak ada yang mau kalian bicarakan sebentar?" bujuknya lagi.

Akhirnya Hulya menyerah, ia memutar balik langkahnya dan meminta izin agar bertemu Sania sedangkan Bu Rahnia bersedia menunggu di luar. Lagipula Hulya tak akan lama.

Ia duduk di ruang kunjungan dengan  mata yang menatap lurus ke depan. Membayangkan semua ucapan Tasya yang sampai sekarang masih mengganggu benaknya. Apa ia harus tanyakan pada Sania sekarang?

Tak lama seorang sipir mengantar Sania yang kini penampilannya seratus delapan puluh derajat berbeda dari yang ia biasa lihat. Rambutnya digelung asal, wajahnya tampak pucat dan lingkar hitam pada bawah matanya jelas menandakan ia kurang tidur.

Semudah itu rupanya Allah mengubah keadaan demi menampakkan kebenaran.

Matanya menatap Hulya senang. Bahkan saat ia duduk di hadapannya, Sania menggenggam tangannya seraya berkata, "Kamu datang akhirnya ... mama pikir kamu nggak mau bicara apapun lagi."

Hulya menarik tangannya dengan pelan dari genggaman itu. Dan Sania agak kaget.

"Aku cuma mau kabarin soal Tasya. Dia masih di rawat intensif di rumah sakit. Dokter masih terus memantau gimana kerja jantungnya," ujar Hulya dengan datar.

"Iya. Mama sudah dengar. Dia pasti begini karena terlalu shock."

"Bukan," jawab Hulya cepat. "Saya bertengkar hebat sama Tasya sehabis pemeriksaan dari sini."

HULYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang