Graduation
"Aduh, tolongin lah, Kak. Saya bingung dan males kalau harus cari tailor baru. Soalnya itu kan buat midnight engagement teman saya hari Sabtu nanti. Nggak keburu kayaknya."
Suara dari seberang sana terdengar memohon, membuat sambungan yang sudah berlangsung selama sepuluh menit itu makin membimbangkan. "Iya, saya usahakan ya. Nanti saya kirim fotonya kalau sudah selesai ganti pola drapery dress-nya."
"Oh iya, model tangannya bisa dirubah lagi nggak? Aku kayaknya nggak suka model kerut begitu," tambahnya tiba-tiba. Hulya mencatatnya dengan malas poin ini, pasalnya sudah empat kali model tangan minta diubah-ubah sejak dress itu jadi.
"Bisa, Kak. Ada lagi?" Ponselnya terapit di antara telinga dan bahu, sementara tangannya sibuk memegang notes dan pulpen.
"Enggak ada. Tapi kalau bisa nih ... Kalau kakaknya sempet, itu dicuci bersih dan digosok dulu ya sebelum saya ambil. Jadi nanti tuh saya tinggal pakai."
"Ok, Kak. Tenang aja, itu bisa kok. Cukup?"
Pelanggannya tak menjawab banyak, hanya mengingatkan kembali jika bajunya harus buru-buru dibereskan. Setelah sambungan itu terputus, barulah Hulya bisa bernapas lega.
Entah harus mengeluh bagaimana. Tapi pelanggannya yang satu ini dramanya tak berkesudahan hampir dua Minggu terakhir. Dua kali ganti warna, menambah detail ketika hampir jadi, meminta rombak hanya karena ia merasa terlalu 'ramai' sebab hasil dari request-nya sendiri. Dan sekarang ketika kebaya itu sudah jadi, ada lagi permintaannya.
Agak kesal ketika Hulya berpikir kenapa tidak dari awal ia punya konsep dan detail yang jelas untuk bajunya sendiri. Belum lagi minggu ini juga ia meluncurkan produk blouse baru yang dimana membuatnya sibuk luar biasa. Maka dari itu saat bajunya sudah selesai tiga hari lalu, ia katakan jika tak menerima perubahan dalam dua Minggu ke depan.
Hanya dengan melihat panjangnya resi yang masih tersisa di sampingnya saja sudah membuatnya lelah. Namun melihat semua kesibukannya sekarang menaikkan rasa sadar akan satu hal, bahwa rezeki tertakar dan tidak akan pernah tertukar.
This is how she's now, setelah setahun lebih berpelik pada kasus ayah dan ibunya. Kini ia bisa bernapas jauh lebih lega sembari menata hidupnya. Jatuh bangun ia mengelola semuanya semenjak ibunya meninggal. Ia pernah kehabisan ide untuk produk produknya. Ia pernah menguras sepertiga tabungan milik ibunya hanya untuk mengganti beberapa konsep penjualan agar lebih menarik hingga ia harus benar-benar mengirit bahkan untuk makan sendiri. Para customer tak semua lurus dan jujur, ada saja yang membuatnya mesti extra bersabar ketika ditipu, dikomplain dan diminta ganti rugi.
"Better warna peanuts atau coklat ini sih supaya makin matching?" tanya seorang gadis yang sibuk menimang dua pashmina panjang di depan cermin. Sejak dua puluh menit lalu ia sibuk memasang dan melepas kedua kain itu di kepalanya, mencocokkan.
"Atau yang ini aja ya?" Ia menunjuk pashmina berwarna ivory yang terjuntai di hanger dekat cermin.
Jika ditanya siapa orang yang paling banyak memberinya ide-ide segar atas usaha brand-nya ini, maka Salwa lah orangnya. Dulu awalnya Hulya pikir ia hanya akan jadi sebatas tempat berkonsultasi saja mengingat selera minat Salwa pada fashion bagus. Namun ternyata ia dengan senang hati bergabung ikut merintis. Bersedia menjadi model katalog, ikut mempromosikan, bahkan ikut andil ketika proses produksi hingga packing.
KAMU SEDANG MEMBACA
HULYA
General Fiction"Home is where Mom is." Copyright © 2020 by Irlyrma [You can tag @irlyrma if you share something from this story. Thank you.]