1. Tentang Perpisahan

43.1K 4.5K 2.4K
                                    

Jangan lupa nabung gaes

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa nabung gaes



🥀
Ratusan purnama berlalu
Tapi cinta tak pernah berlalu
Walau kau usir aku di hidupmu
Tapi cintaku tetap diam
Ratusan purnama berlalu
Sendirian aku tanpa cinta
Tak pernah ada cinta yang lain
Hatiku terbuka hanya untukmu

🎵Ratusan purnama- Melly Goeslow🎵
🥀



Katanya, perpisahan adalah fase paling menyakitkan dari kehidupan. Perpisahan selalu identik dengan kehilangan. Banyak orang yang meratapi perpisahan dengan sebuah air mata kesedihan. Namun mereka lupa kalau ada perpisahan yang hakikatnya untuk menyembuhkan dari luka kebersamaan. Karena terkadang saling berdekatan lebih menyakitkan dari jarak perpisahan.

Hauri paling mengerti arti perpisahan. Dua kali ia merasakan perpisahan yang berbeda alasan. Pertama, perpisahan yang disebabkan oleh kematian. Kedua, perpisahan untuk berhenti saling menyakiti.

Banyak yang membenci kebersamaan dirinya dan Alskara. Namun mereka tidak mengerti. Dirinya dan Alskara tidak pernah saling menyakiti secara sengaja. Nyatanya keadaan yang membuat mereka saling menyakiti. Tidak ada yang salah, tidak ada yang tidak terluka.

Kini Hauri ada di awal perpisahan. Setelah rasa sakit yang berangsur pergi, tersisa sepi dan kerinduan. Rindu pada sosok yang pernah sama-sama terluka dengannya. Rindu pada sosok yang jauh entah dimana.

"Hauri, kamu udah bangun?" Gesia masuk ke dalam kamar Hauri setelah mengetuk pintu kamar putrinya itu beberapa kali.

Di dalam kamar bewarna biru tua, Hauri duduk di bangku meja belajar yang terletak di depan tempat tidur, dekat tembok dan bersampingan dengan jendela yang terbuka lebar. Karena ini hari minggu, keadaan kamar Hauri masih agak berantakan. Di atas kasur terdapat beberapa buku yang ia ambil dari rak buku pojok kamar. Sapu berdiri di samping pintu kamar. Sengaja ia taruh di situ supaya nanti ia bersihkan lantai sebelum dirinya keluar kamar.

"Oh? Iya, Mi. Hauri lagi baca buku, Mi." Hauri yang duduk di bangku meja belajar, mengenakan kaca mata baca menoleh untuk melihat Gesia.

"Belum makan pasti. Kebiasaan deh Hau kalau libur makannya telat." Gesia menghela napas, menekuk wajahnya khawatir. Hapal betul kebiasaan putrinya yang ia harap bisa diubah.

Hauri nyengir kuda, begitu sulit menghilangkan kebiasaan buruknya yang suka telat makan. "Aku mau ke Gramed sama Siya, nyari buku. Habis itu makan."

"Kenapa nggak makan di rumah aja?" tanya Gesia masih cemberut.

"Karena aku lagi mau makan di luar Mamiiiiiii!!" seru Hauri panjang dengan nada manja.



-the last rute-


Dari satu rak buku ke rak buku lainnya dijelajahi Hauri demi mencari buku untuk kebutuhan kuliahnya. Oh, hampir saja lupa diceritakan. Hauri yang dulu berambut pendek kini sudah memiliki rambut panjang lurus dengan ujung agak bergelombang bewarna cokelat. Tubuhnya ramping ideal dan memiliki tinggi sekitar 166 cm. Kulitnya masih tetap putih cerah sekalipun ia sering terkena pancaran sinar matahari. Hauri masih tidak terlalu gemar memakai makeup berlebih di kesehariannya. Hanya menggunakan lip cream Havanna, foundation dan bedak tipis. Apalagi alisnya sudah tebal alami, jadi tak perlu dipoles lagi. Untuk acara tertentu saja ia full makeup.

Sekarang Hauri sudah kuliah jurusan Sastra Indonesia semester akhir. Soal keadaan, ia baik-baik saja, lebih baik dari dirinya yang dulu. Dan sebagai mahasiswi semester akhir yang sebentar lagi menghadapi skripsi, Hauri sangat sering pergi ke toko buku mencari buku-buku yang akan membantunya mengerjakan skripsi nanti. Biasanya setiap minggu bersama Siya. Keadaan toko buku yang selalu ramai setiap ia kunjungi selalu menjadi hal yang disukai Hauri. Ia suka berada di tempat yang sama dengan orang-orang yang memiliki keperluan yang sama dengannya. Dan yang paling sering ia jumpai adalah pengunjung remaja di toko buku seperti saat ini. Remaja-remaja tersebut berburu novel romance sembari berharap kelak memiliki kisah cinta seindah novel yang mereka baca.

"Hau, gue udah dapat bukunya. Lo udah?" Siya menenteng buku, menunjukkannya ke Hauri.

Lantas Hauri menoleh begitu mendengar suara Siya. Ia melirik buku yang dipegang Siya, lalu menatap sepenuhnya wajah sahabat sejak SMP-nya itu.

Tidak terlalu banyak perubahan pada Siya. Mungkin penampilannya yang lebih dewasa dan cantik. Rambut Siya yang dulu panjang sudah dipangkas pendek sebahu, wajah yang dulu polos sudah mulai dijejali makeup yang membuatnya semakin cantik. Jika dulu cara berbusana Siya sederhana dan terkesan tomboi, maka sekarang lebih feminim yang gemar mengenakan rok panjang atau selutut seperti saat ini. Masih sahabat yang baik, galak dan cerewet. Satu kampus dengan Hauri. Hanya beda jurusan. Siya memilih jurusan Manajemen.
Soal hubungan Siya dan Nevan baik-baik saja. Bahkan mereka sudah tunangan dan segera menikah dalam hitungan beberapa bulan. Kalaupun menikah, kata Siya, ia tetap lanjut kuliah. Begitupun Nevan yang tetap melanjutkan pendidikannya. Tujuan mereka menikah bukan semata untuk memiliki keturunan. Mereka hanya ingin memperjelas hubungan mereka dan menepis rasa bosan pada hubungan panjang yang tak menentu.

"Gue juga udah. Langsung makan aja kali, ya? Laper gue." Hauri mengusap perutnya, memamerkan ekspresi kelaparan yang menggemaskan.

"Sama woy!" Siya ikut mengelus perutnya.

Setelah beres membayar buku yang mereka beli. Mereka mampir ke tempat makanan cepat saji dekat toko buku. Tempatnya agak ramai pengunjung. Beruntung masih tersisa bangku untuk mereka berdua duduk makan tanpa pembicaraan lantaran terlalu menikmati rasa lapar yang perlahan tertutupi.

Siya sudah selesai makan sama seperti Hauri. Ia merentangkan telapak tangannya, memperhatikan cincin di lingkaran jari manisnya. Cincin pengikat janjinya dengan Nevan menuju pernikahan. Cincin yang cantik. Cocok melambangkan kisah cintanya yang manis. Namun ada raut ketidaktenangan yang terpancar dari wajahnya ketika memperhatikan cincin itu. Bahkan ia terang-terangan menghela napas beberapa kali.

"Kenapa?" Hauri yang mendengar helaan napas Siya jadi penasaran.

"Sebentar lagi gue dan Nevan nikah. Tapi kenapa makin lama makin banyak keraguan yang dateng di hati gue, ya?" Siya memasang wajah sendu. Sejujurnya akhir-akhir ini ia tidak tenang memikirkan apakah keputusannya menikah muda adalah benar atau akan berakhir penyesalan?

"Ragu gimana?" Kedua alis Hauri mengernyit naik ke atas. Padahal sebelumnya Siya sangat semangat mengenai pernikahannya dengan Nevan. Menikah dengan laki-laki yang dicintai, bukankah itu impian semua perempuan?

"Nggak tau." Siya melipat kedua tangannya di atas meja. "Ragu kalau pernikahan gue bakal awet sama Nevan atau nggak? Ragu kalau kadar cinta gue bakal lama atau sementara. Ragu kalau gue yang terbaik buat Nevan begitu pun sebaliknya atau nggak? Banyak keraguan-keraguan lainnya yang buat gue jadi nggak percaya sama pernikahan. Lo ngerti maksud gue, kan?" sangat sulit memilah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Entah bagaimana keraguan-keraguan ini singgah di hatinya di saat pernikahannya sebentar lagi.

"Bukannya itu yang biasanya dirasain sama orang yang mau nikah? Makanya Ya banyak-banyak berdoa, minta petunjuk sama Tuhan."

Tidak begitu pasti dari mana Hauri mendengar. Yang jelas ia ingat kata-kata yang pernah didengarnya. Begini, menjelang pernikahan akan datang keraguan-keraguan yang membuat kita lupa seberapa menantinya kita kepada hari pernikahan. Dan setahu Hauri itu disebut ujian untuk yang ingin menikah.

"Tauuu. Tapi tetap aja. Kayak gimana gitu. Haaah, capek ngadepin perasaan kayak gini," keraguan yang menggerogoti hati Siya saat ini membuatnya merasa akan mengalami penderitaan jika sampai salah pilih. Membuatnya sulit melihat kebahagiaan setelah pernikahan.

"Memilih menikah sampai nggak ada keraguan itu salah. Yang benar menghadapi keraguan sampai pernikahan. Keraguan-keraguan yang ada menjelang pernikahan kalau berhasil dilewati akan jadi penguat pernikahan itu sendiri. Ini baru awal cobaan. Cobaan terberatnya setelah menikah," Hauri mungkin tidak tahu banyak tentang pernikahan. Namun Gesia yang menyadari dirinya sudah beranjak dewasa sering sekali memberinya nasihat-nasihat tentang pasangan, cinta dan pernikahan.

"Aahh, sial, setelah gue dengar omongan lo gue jadi ngerasa bersalah karena ragu sama hubungan gue dan Nevan," Siya merengek, menyesali pikirannya yang terlalu pesimis.

Hauri tersenyum. Ia merogoh tas kecil di sampingnya. Tangan kanannya mengeluarkan yakult dari tas. Ia tusuk yakult dengan sedotan dan meminumnya. Dia masih Hauri yang dulu. Penyuka yakult yang akan merasa hampa jika tidak meminumnya barang sehari.

"Kalau lo gimana sama Alskara?" tanya Siya, melirik ragu Hauri.

Mendengar pembahasan yang kini tentang dirinya, Hauri langsung menatap Siya dari sebelumnya melihat sekelilingnya yang ramai pengunjung.  "Apanya?" Hauri mengangkat kedua alisnya. Sedotan masih menempel di bibir.

"Hubungan lo," perjelas Siya.

"Nggak ada kabar terbaru yang perlu gue laporin ke lo. Gue lagi menikmati fase perpisahan," Hauri tersenyum hampa. Lagi-lagi dirinya denial tentang sesungguhnya yang ia rasa.

"Kata lo perpisahan lo dan Alskara untuk saling menyembuhkan. Sekarang lo sembuh, kan? Terus apa yang lo lakuin di fase perpisahan ini?"

Hauri melirik sembarangan arah untuk menemukan jawaban. Namun berakhir dengan dirinya yang mengangkat kedua bahu.

"Lo ragu sama Alskara?" tebak Siya.

Hauri tersenyum jenaka. "Kenapa harus ada keraguan di dalam perpisahan? Kalau berpisah berarti selesai, nggak ada pertanyaan dan nggak ada apapun untuk diraguin."

Siya menatap tegas Hauri, sangat peka jika di balik kata-kata Hauri yang terdengar santai itu, ada selebat benang kusut di hati Hauri, ada tanda tanya tentang kepastian yang selama ini ia harapkan.

"Hau, chat yang Alskara kirim ke lo di hari sebelum penerbangan dia ke Inggris itu bukan ucapan selamat tinggal, tapi sampai jumpa lagi. Lo pasti ngerti maksudnya, kan?" Siya berusaha membuat Hauri berhenti denial.

Hauri terdiam. Senyumnya menghilang, bibirnya merapat. Sekarang ia merana ketika kembali memutar otak mengingat kenangan tentang chat yang Alskara kirim sebelum pesawat membawanya pergi. Pesan singkat yang memiliki ribuan tanda tanya.

Sampai jumpa lagi.

Entah kapan sampai jumpa lagi yang dimaksud akan datang? Sudah hampir tiga tahun lebih tapi perjumpaan itu belum juga terlihat titiknya. Apakah perjumpaan itu akan datang beberapa tahun ke depan?

"Apa yang gue harapin dari ucapan sampai jumpanya orang yang udah nggak ada di sekitar gue? Gue nggak bisa nebak sampai jumpa laginya yang dia maksud kapan, Ya. Dia yang bilang kalau dia lepasin gue, ngebebasin gue, yang artinya terserah bagaimana gue tanpa dia. Mau gue sama orang lain atau lupain dia, gue udah bebas dan nggak perlu mikirin dia atau perasaan dia lagi," Hauri memutar bola mata dengan senyuman tipis. Tidak ingin sampai Siya menangkap sorot matanya yang meredup.

Terdengar enteng, namun sesungguhnya ada banyak rasa sakit yang menyobek daging jantungnya ketika mengatakan demikian. Hauri tidak benar-benar menyerah atau membiarkan terserah keadaan. Nyatanya ia berharap dan berusaha supaya kata terserah menjadi jawaban pasti dari hubungannya dengan Alskara.

"Perpisahan bukan semata tentang melupakan. Perpisahan banyak artinya. Ada perpisahan yang nggak akan bertemu lagi selama-lamanya dan ada perpisahan sementara sebelum pertemuan kedua. Melupakan itu kalau emang mau melupakan, bukan buat nutupin gengsi lo yang sebenarnya masih berharap," Siya kasihan melihat Hauri yang terombang-ambing ketidakpastian. Dan juga kasihan ketika Hauri harus pura-pura menyerah atas cintanya kepada Alskara.

Hauri tersenyum lagi. Merasa ketahuan dan terbongkar akan perasaan yang berusaha ia ubah. "Susah berharap sama yang nggak pasti. Kalaupun gue emang masih berharap. Ya udah, nanti harapan itu bakal pupus dengan sendirinya karena kita tetap udah berpisah."

"Kalau perjalanan cinta lo dan Alskara diibaratkan perjalanan dengan rute busway. Lo itu lagi di posisi naik angkot buat ke halte busway nya. Itu sama aja kayak fase perpisahan kalian saat ini. Kisah cintanya baru dimulai kalau lo udah ada di dalam busway."

Diingatkan lagi tentang Alskara selalu berhasil mencabik-cabik perasaannya dan mengeluarkan kerinduan yang bertahun-tahun berusaha ia kubur. Dengan kedua tangan terlipat di atas meja, kepalanya berada di atas kedua tangan. Suara rengekan layaknya anak kecil merajuk menggambarkan kegundahan hatinya.

"Tau ahhh, bingung. Kenapa sih cewek suka banget menunggu hal yang nggak pasti?" tanyanya pada semua perempuan yang mengalami apa yang dialaminya, termasuk dirinya sendiri.

"Karena yang nggak pasti itu bikin penasaran." jawab Siya, tersenyum menyindir.

"Tapi capekkkk!!" rengek Hauri frustasi.

"Kenapa jadi lo yang galau? Harusnya gue yang galau."

"Lo sih bahas tentang dia. Udah tau semua tentang dia itu cuma buat gue sedih."

"Kalau sedih chat lah, telepon gitu."

"Tau ahhh!"

🌹🌹


Sampai jumpa lagi dan selamat tinggal memiliki makna yang berbeda. Kalau selamat tinggal artinya akhir dari perjalanan, pupusnya sebuah kebersamaan. Maka sampai jumpa lagi artinya jeda untuk tidak bertemu dan kemungkinan pertemuan kedua. Dan sampai jumpa lagi menyimpan rasa sakit yang lebih berat dari keduanya karena menyimpan harapan besar tanpa kepastian

-Siya Apriliani-

🌹THE LAST RUTE🌹

Gimana chapter ini?

Kalian shipper siapa?

Mau ngomong apa sama Hauri?

Mau ngomong apa sama Alskara?

Mau ngomong apa sama Liam?

Jangan lupa vote

Kalian jangan lupa share cerita ini jika menurut kalian cerita ini layak diketahui banyak orang.

Yuk jadiin SG setiap updetan biar aku repost hihihi

Yuk spam komen sebanyak-banyaknya.

Jangan lupa follow IG :

@palupiii07

@alskarabanyu

@imhaurii

@liam.aarav

@nevanoktavino

@siya.aprilia

Terimakasih❤️❤️

I'm not Antagonist II : The Last Rute (TAMAT dan SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang