44. Our Trauma

5K 767 576
                                    

Liam termenung duduk di kursi kerjanya, menopang dagu dengan tatapan kosong lurus ke depan. Laptop di hadapannya menyala, berkas-berkas yang diberikan oleh sekretarisnya belum ia sentuh sama sekali. Sesuatu telah mengganggunya, merebut segala atensinya hingga hanya fokus pada satu hal tanpa menghiraukan yang lain. Liam tidak benar-benar ada di masa sekarang, sebab yang berputar di kepalanya adalah beberapa waktu lalu perihal percakapannya dengan  Alskara.

***

"Iam, dulu lo brengsek karena punya banyak pacar dan mutusin mereka seenak jidat lo. Tapi lo bakal lebih brengsek kalau berbuat baik tanpa punya perasaan sama perempuan itu."

"Berbuat baik ke orang lain itu sebuah etika. Masa gue harus kasar, marah-marah dan berbuat jahat?"

"Kebaikan juga ada batasannya. Bare minimum seseorang beda-beda, Iam. Bagi lo wajar memperlakukan orang lain sebaik itu, tapi bagi orang lain itu kayak ngasih kode kalau lo punya perasaan dan paling parah orang lain bakal jatuh cinta sama lo, padahal lo cuma bersikap baik aja."

"Serba salah gue."

"Bukan serba salah. Tapi gue yakin lo pasti ngerti apa yang gue omongin ini. Lo yang paling tau rasanya diperlakukan baik sama orang yang lo cinta sampai beranggapan cinta lo nggak bertepuk sebelah tangan."

Kala itu Liam termenung. Teringat oleh hubungannya dengan Hauri. Semasa SMA, Hauri selalu memperlakukannya dengan baik, perhatian dan cukup menyenangkan. Benar, Liam sempat berpikir jika perempuan itu sudah melupakan Alskara dan jatuh cinta padanya. Namun ternyata Hauri hanya menghargainya saja, tidak lebih.

"Lo juga paling tau rasanya menjalin hubungan sama orang yang belum selesai dengan masa lalunya."

Perkataan Alskara kembali membuat Liam termenung dan menyelami kisah cintanya dengan Hauri di masa SMA.

"Bentar, bentar." Sadar oleh kejanggalan topik yang dibawa Alskara, Liam langsung menghadap sahabatnya sejak SMA yang duduk di bangku sampingnya berhadapan dengan meja bartender. "Ini konteksnya kita lagi bahas gue sama siapa?"

"Menurut lo?" tanya Alskara.

Kening Liam mengernyit. "Sury mantan gue dan Aqila?"

"Lo lagi dekat sama mereka berdua, kan? Bahkan sekarang terlibat film dokumenter sama Sury mantan lo."

Liam langsung tertawa, menyisir rambutnya ke belakang. "Antara gue, Sury dan Aqila nggak bisa disandingin sama hubungan gue, lo dan Hauri waktu SMA. Beda hubungan, beda kaitannya, Al."

"Perlakuan baik lo selama ini buat Aqila karena apa? Terus lo juga masih terikat sama Sury, kan? Jadi ya sama aja."

"Beda." Liam meluruskan pandangan, melipat tangan di atas meja dan tersenyum. "Pertama, Aqila nggak ada perasaan sama gue. Kedua, antara gue dan Sury cuma masa lalu dan gue nggak berniat mengorek-ngorek apa yang terjadi di masa lalu atau alasan Sury ninggalin gue."

"Lo kata siapa Aqila nggak cinta sama lo? Lo emang bisa nebak perasaan orang? Lo aja yang diperlakukan baik sama Hauri bisa jadi bucin. Aqila juga pasti bisa jatuh cinta sama lo."

Liam menghela napas, menopang dagu dengan posisi kepala menyamping menghadap Alskara. "Al, Aqila... she have trauma about love. Cinta dan laki-laki adalah kutukan yang berusaha dia hindarin. Orang yang punya trauma nggak bisa terlibat dalam hubungan cinta. Sekalipun bakal terlibat cinta, pasti saat dirinya udah sembuh dan butuh jangka waktu yang lama. Sedangkan gue nggak bisa nebak apa yang terjadi ke depannya. Bisa aja, masa-masa dimana Aqila udah sembuh suatu hari nanti, dia justru ketemu sama cowok yang lebih baik dari gue. Dan yah, dia mempercayakan cowok itu buat dikasih cintanya yang kembali tumbuh pasca penyembuhan. Dan gue cuma bakal jadi salah satu kenangan yang pernah jadi teman baiknya aja."

I'm not Antagonist II : The Last Rute (TAMAT dan SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang