7. Taman Mengajar

12.4K 2.2K 627
                                    

Jangan lupa nabung gaes🔥

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa nabung gaes🔥



🥀

Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya
Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Bebaskan mimpimu di angkasa
Warnai bintang di jiwa
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada Yang Kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya

🎵Laskar pelangi-Nidji🎵

🥀

Jam enam pagi Abram sudah menjemput di depan rumah dari sebelumnya minta alamat rumah Hauri. Tadinya Hauri mau ke sananya sendiri. Hanya saja kata Abram mending bareng supaya tidak repot. Hauri pun tidak punya alasan untuk menolak. Meski sebenarnya ia pikir ada beberapa orang lagi di mobil. Namun ternyata hanya ada dirinya dan Abram.

"Udah sarapan, Ri?" Abram yang sedang menyetir melirik Hauri.

"Gue nggak biasa sarapan pagi. Palingan siang."

"Jangan gitu. Isi aja dulu perutnya. Biar nggak sakit."

"Nanti kalau udah sampai gue cari jajanan kok. Tenang aja." Hauri tersenyum singkat.

Abram mengetuk stir mobil sambil mengangguk. "Sayang, ya, si Aqila nggak bisa ikut."

"Iya."

Hauri semalam chat Aqila. Bertanya apakah Aqila ikut acara ini atau tidak. Ternyata Aqila justru sudah ada di Bandung. Berangkat dari sabtu sore. Padahal jika ada Aqila, Hauri tidak akan terlalu canggung dengan yang lainnya.

Abram melirik ke kaca spion di atasnya untuk melihat ke belakang jok. "Kayaknya antusias banget, ya? Sampai nyiapin jajanan gitu." Abram terkekeh.

Hauri menoleh ke bangku belakang mobil, memeriksa kardus yang isinya bungkusan cemilan untuk ia berikan ke anak-anak yang nanti diajarinya. Dari semalam ia menyiapkan semuanya seorang diri.

Hauri kembali menghadap depan, tertawa malu. "Iya, buat anak-anak."

"Padahal cuma ada sekitar empat puluh anak loh, Ri. Itu nggak kebanyakan?"

"Nggak papa, bisa dibagiin ke yang lainnya."


-the last rute-


Mereka menamainya taman mengajar. Lokasinya ada di lingkungan dekat pembuangan sampah di paling ujung pinggiran kota Jakarta. Mereka mengajar di outdoor. Tanah dialasi oleh kerdus supaya duduk mereka nyaman. Berdiri papan tulis besar untuk mencangkup materi. Seperti yang Abram katakan, hanya ada sekitar empat puluh anak yang berusia sekitar sembilan sampai dua belas tahun. Selain Hauri dan Abram, ada empat orang lainnya yang merupakan satu kampus dengan mereka. Aldi, Bian, Reta, dan Deden.

Kegiatan taman mengajar ini tidak cuma diadakan hari ini. Melainkan sudah dari jauh waktu. Oleh karenanya anak-anak ini sudah bisa membaca. Mahasiswa yang datang pun tidak hanya dari satu kampus saja. Kadang juga ada acara mengajar dari kampus lain.

Hari ini mahasiswa yang datang, mengajar beberapa hal yang berbeda. Seperti Deden yang memberi pelajaran menggambar, Aldi memberi pelajaran bahasa Inggris, Bian memberi pelajaran Matematika umum, Reta memberi pelajaran menyanyi, Abram memberi pelajaran pengetahuan umum dan Hauri mengajari sesuatu yang berhubungan dengan Sastra Indonesia. Salah satunya puisi.

Hauri berdiri di depan anak-anak. Di papan tulis tertulis ajakan untuk membuat puisi tentang impian.
"Sekarang Kaka mau kalian bikin puisi tentang impian kalian. Singkat aja nggak usah panjang," ujar Hauri lembut, tapi lantang. Ia pandangi anak-anak di depannya silih berganti.

Anak-anak itu menyambutnya antusias. Mereka tertantang oleh tugas yang diberikan Hauri.

"Kaka kasih contoh nih." Hauri tersenyum, menarik napas perlahan. "Jatuhku beribu kali. Luka-luka pada kaki menjadi saksi senekat apa aku tetap melangkah di jalan berbatu. Keringat yang mengalir deras di pelipis tak sedikit pun mengambil energi semangatku. Demi satu hal aku lalui semua ini. Demi impian yang menungguku di depan sana."

Tepuk tangan dan pujian menyatu dengan udara yang masih sejuk meski sebentar lagi pagi berganti siang. Tepuk tangan itu juga datang dari mahasiswa yang menyaksikan pembelajaran Hauri. Hauri jadi tersenyum malu, pura-pura menyelipkan rambut panjangnya yang tergerai ke belakang telinga.

"Kaka kasih waktu dua puluh menit cukup nggak?" tanya Hauri lantang.

"Cukup Kakkkk!!" jawab serempak anak-anak.

Hauri mengelilingi anak-anak, melihat proses mereka membuat puisi. Ia elus juga kepala setiap anak yang dihampiri. Memberi semangat dan memuji untuk menambah kepercayaan diri mereka. Hauri melirik jam tangannya, kembali berdiri di depan. Waktu dua puluh menit yang ia berikan sudah habis.

"Kalau Kaka bilang dua puluh menitnya udah habis. Kalian siap nggak?" tanya Hauri ceria.

"Siappp Kakk!!!" jawab mereka serempak.

"Ini kalian mau ditunjuk atau menunjuk diri sendiri?" Hauri mengangkat tangannya, memperhatikan semua anak-anak sambil tersenyum.

"Aku! Aku mau!" Anak perempuan berambut pendek sudah berdiri mengangkat tangannya semangat.

"Ya, kamu Juli!!" Hauri menyambut anak perempuan itu. Hauri tahu nama anak itu karena setiap anak dikasih semacam nametage yang ditaruh di baju mereka. Dengan begitu kegiatan mengajar akan terasa lebih akrab, tidak canggung karena tidak tahu nama-nama anak ini.

Juli berdiri. Ia tertawa malu ketika menatap teman-temannya yang lain. Bola matanya yang cerah dan penuh harapan menatap lurus ke Hauri. Hauri mengangguk, seolah memberi kekuatan kepada Juli untuk percaya diri. Anggukan Hauri disambut senyuman lebar Juli. Saking senangnya, tubuh Juli tidak berhenti bergerak seperti sedang menari.

"Aku adalah Juli. Si anak kampung yang tinggal berdampingan pada gunung-gunung sampah. Aku Juli, si anak yang orang-orang bilang gembel. Aku si Juli, anak yang memiliki mimpi besar. Aku Juli, si anak yang tidak pernah runtuh untuk mendaki menuju mimpi," Juli selesai membaca puisi miliknya. Ia tersenyum lebar penuh percaya diri menyambut respon dari yang lain.

Juli membacakan puisinya dengan begitu serius, lantang dan penuh penekanan. Hingga puisi yang terdengar pun terasa hidup, mampu membuat orang yang mendengarnya tersentuh.

"Tepuk tangannya untuk Juli!" Hauri bertepuk tangan. Diikuti yang lainnya. Ia menatap terharu Juli, merasa sangat bangga.

"Juli si anak keren. Kaka mau kasih Juli banyak acungan jempol. Tapi cuma punya dua jempol. Ada yang mau pinjemin Kaka jempol?" Hauri memasang wajah sedih sembari mengacungkan dua jempol ke Juli.

"Aku!"

"Aku mau!"

"Aku!"

"Aku!"

"Aku!"

Serempak semua anak mengacungkan jempol ke Juli. Melihat banyaknya dukungan dan pujian membuat Juli menari kegirangan sampai tidak bisa berhenti tersenyum.

"Makasih semuanya. Makasih Kak Hauri!" Juli membungkuk di hadapan Hauri, lalu kembali duduk.

"Sekarang Kaka mau tunjuk kalian, yaa! Harus berani kayak Juli si anak keren." Hauri menatap satu-persatu anak-anak di depannya. Menimang-nimang pilihannya.

Di bagian belakang, duduk seorang anak laki-laki yang menunduk menatap buku di meja kecilnya. Anak laki-laki itu sama saja seperti anak laki-laki yang ada di sini. Yang membuat Hauri penasaran adalah wajahnya yang terdapat memar. Pikiran negatif yang muncul di kepala Hauri membuat hatinya perih.

Hauri menyipitkan matanya untuk bisa membaca nama anak itu. "Ido," panggil Hauri. "Ido coba bacain puisi kamu."

Anak laki-laki yang namanya dipanggil Hauri langsung mengangkat kepalanya, gelagapan tiba-tiba namanya dipanggil. Meski masih terkejut, ia tetap berdiri. Memperhatikan setiap anak yang juga memperhatikannya. Ido berakhir hanya menatap Hauri seutuhnya.

"Kamu boleh bacain puisi punya kamu." Hauri tersenyum hangat.

Ido menunduk, membaca dalam hati puisi yang ia tulis di buku. Ada keheningan beberapa saat karena Ido seperti berpikir untuk membacanya dengan lantang atau tidak. Kemudian bibir mungilnya mulai terbuka perlahan, "impian itu, apakah gratis? Impian itu, apa boleh dimiliki semua orang? Apa aku yang tidak pernah mengerti arti keluarga boleh berpikir tentang mimpi? Apa aku yang tidak punya rumah yang nyaman boleh menulis list mimpi pada selembar kertas? Apa aku yang tidak sekolah boleh membicarakan tentang mimpi? Siapapun, bisa beri tau aku? Apakah aku berhak memiliki mimpi? Di mana aku bisa mendapatkan mimpi yang gratis?" selesai membaca puisi, Ido menatap Hauri dengan sorot mata meminta keadilan serta jawaban dari setiap tanya yang tertulis di bait puisinya.

Hati Hauri berdenyut nyeri mendengar puisi yang dibacakan oleh Ido. Suasana gembira yang ada beberapa saat lalu berubah menjadi sesak. Semua orang diam, anak-anak dan para mahasiswa. Mereka sama-sama mencerna puisi yang dibacakan Ido. Hati mereka teriris menyadari bola mata polos milik Ido berkaca-kaca penuh kesedihan.

Dari puisi Ido, anak-anak yang mendengarnya merasa dijatuhkan oleh kenyataan. Tanpa sadar mereka memiliki pertanyaan yang sama seperti Ido. Bolehkah mereka memiliki mimpi? Di mana mereka bisa menemukan mimpi yang gratis itu?

Sedangkan untuk para mahasiswa, mereka merasa tertampar oleh kepiluan. Membuat mereka tertohok bahwa tidak semua orang beruntung seperti mereka yang bisa sekolah sampai jenjang kuliah. Membuka lebar pikiran dan mata mereka bila impian setiap orang punya jalan yang kesulitannya berbeda-beda.

Hauri bertepuk tangan hingga yang lainnya ikut bertepuk tangan. Namun Hauri tidak bersuara, hanya tersenyum menyembunyikan sesak.

I'm not Antagonist II : The Last Rute (TAMAT dan SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang