(4) Khilaf

63.5K 9.5K 383
                                    

Ganes beranjak dan berjalan lurus tepat ke arahku.

Apa yang akan dia lakukan?

Yang aku ketahui ini tidak ada dalam novel atau aku saja yang lupa.

Mataku melirik telapak tangan Ganes yang terkepal kuat, Ganes marah? Di novel Ganes dijelaskan berhati malaikat kecuali dengan musuhnya termasuk Freya, bucin Ganes.

"Ganes," panggilku lirih. Kali ini kami berdiri berhadapan, Ganes menunduk. Tangannya terjulur melewati bahuku, dia mengambil sesuatu.

Dan setelahnya kekagumanku pada tokoh utama hancur.

Teh dingin yang belum aku seruput sengaja Ganes semburkan di bagian seragam putihku.

Namira dan Sena memekik, aku syok. Ternyata Ganes Ridha Maherta lebih kasar daripada yang aku bayangkan di novel. Untuk pertama kalinya aku dipermalukan.

"Udah gue bilang jangan pernah sentuh Yena, lo tuli atau gimana? Yena bukan babu di sekolah ini," desis Ganes.

Denis itu pengadu, sepertinya si penulis sengaja nama berakhir 's' itu pemarah kalau bicara sama Freya! Simpulku.

Aku bersedekap, tidak ambil peduli bagaimana kini jadi pusat perhatian layaknya aku artis terkenal.

"Padahal gue enggak nyuruh amat, Yena-nya aja yang dungu mau-mau aja gue suruh." Jawaban bagus dapat aku lihat Ganes kaget mungkin untuk pertama kalinya aku mengakui karena dari dulu pasti Freya menyangkal, memberikan beribu alasan.

"Lo yang dungu, bangsat!"

Dasar mulut penghuni neraka, aku mendengus dongkol. Rasa tak nyaman seragamku basah bercampur lengket. Aku menyembunyikan punggung tangan sadar Ganes hendak mencengramnya.

"Ganes Ridha Maherta, mentang-mentang lo pangeran sekolah ini bisa bersikap seenak jidat. Gue tau cinta itu enggak bisa dipaksa, makasih gara-gara gue nolongin lo dan balok kayu berhasil bikin gue sadar, cowok di dunia ini bukan cuma lo, Ganes brengsek!!!" Aku setengah membentak dengan napas naik turun.

Dalamanku terekpos jelas, mengingatkan akan kejadian para bandit yang mempunyai niat jahat waktu itu.

Keadaan penuh amarah, aku berbalik mengambil bakso yang belum aku sentuh sudah dapat kalian tebak. Kuah bakso itu menyiram muka Ganes, garis bawahi MUKA GANES yang blasteran tersebut.

"MULAI SEKARANG GUE NGGAK PEDULI LAGI SOAL LO DAN RAYENA YENA ITU! ANGGAP GUE KHILAF NAKSIR MODELAN HUMAN BUSUK KAYA LO!" Aku meraung kesal.

Anehnya aku berbicara seperti itu sambil meneteskan air mata, ini mungkin perasaan Freya karena bagaimana pun dulunya tubuh ini milik Freya yang mencintai mati Ganes.

Sebelum benar-benar keluar dari kantin aku mengeluarkan lembaran seratus ribu di saku rok, meletakkannya ke meja. Sesuai janji, aku yang membayar makan Namira dan Sena.

"Mau pulang." Di sela aku berlari di koridor, mulutku tak hentinya meminta pulang. Rumah yang sebenarnya. Aku lepas tangan, anti berurusan dengan tokoh di dunia yang aku pijak kini.

Aku menerima bahwa telah mati.

Apa aku bunuh diri saja agar Freya asli kembali.

Kerinduanku pada Ayah semakin berkibar. Omelannya, permintaannya yang minta dibuatkan kopi.

Jangan lupakan calon suamiku, Sabda. Jangan sampai Sabda nelangsa aku menghilang tanpa jejak.


***



Seharusnya aku membeli seragam baru, namun yang aku pilih berjemur seperti ikan asin di rooftof SMA Aurora.

Di sini tempatnya sejuk, angin menerbangkan rambut pirangku. Ada kanopi, tapi aku tidak sudi duduk di sana sebab nanti si Ganes brengsek itu bersama Yena ketika resmi jadi sepasang kekasih menghabiskan waktu di sana.

Aku dianggap sebagai manusia iblis nanti mengotorinya.

"Penulis edan!" Dengan gemas aku menendang kaleng minuman, bukan hanya haus aku lapar.

Tapi ogah sekali kembali ke kantin. Kuperlukan mendinginkan kepala sekarang, cuma insiden setengah jam lalu aku berpikiran konyol.

"Lapar." Gerakan sengaja aku menepuk perut kelamaan mengusapnya, sungguh lapar. Apalagi aku punya riwayat mag kronis begitupula tokoh Freya asli.

"Ayah, Reya lapar!" Ujung-ujungnya aku menangis, yaelah. Ini pipa mata kayaknya gampang banget bocor, sekali lagi aku tegaskan Freya Darsah sangat cengeng.

Kedua kaki menghentak ke lantai rooftop berharap nyeri di ulu hati mereda, masa iya aku pingsan alasannya lapar walaupun wajar.

"Ngapain lo?!" Suara itu membuatku berjengkit kaget, suaranya tepat di atas kepala. Aku mendogak, alangkahnya terkejutnya sesosok kepala tanpa tubuh tepat beberapa jengkal di atasku.

"Setan!" Aku mundur, kali ini menuju bawah kanopi. Persetan soal anti duduk, jika tadinya aku lihat kepala detik ini dua kaki menggantung di sudut rooftop.

"Orang setampan gue lo bilang setan, sakit mata lo?" katanya ketus setelah melompat.

Tuli dan sakit mata dari cowok rupawan berperilaku setan. Aku bersedekap, seutuhnya aku bisa melihat orangnya, rambut hingga ujung kaki.

"Lo bukan anak sekolahan sini?" Aku memicing curiga, seragam putihnya tertutupi almamater ditambah celananya yang berwarna merah marron.

"Iya, cape gue naik dari atas parkiran sampai ke atap rooftop." Laki-laki asing itu menghampiri dan aku memasang tangan siap bertarung.

Dia tertawa.

"Jadi lo yang teriak-teriak lapar?" Tawanya makin keras, aku membuang muka.

"Ngapain lo ke sini?" tanyaku penasaran. Dia terlihat kesusahan untuk menghentikan tawanya, tanganku jadi gatal memasukkan kaos kaki ke mulut laki-laki asing itu.

"Mau ajakin lo baku hantam?"

"Hah?"

"Yaelah, muka lo jelek habis nangis kaya orang gila nyasar."

Wah, mulutnya minta tabok!

Dia mundur seakan sadar aku punya niat buruk.

"Gue juga kagak kenal lo, ke sini pengen ajakin para badung buat tawuran."

"Oh."

Aku mengatur napas, kemarahan tadinya menumpuk mulai menghilang.

"Lo habis nangis?"

"Menurut lo?"

"Jutek amat."

"Terserah."

Akhirnya aku duduk di kursi bawah kanopi, semoga laki-laki bersamaku ini tidak mesum, seragam yang melekat kurasakan telah mengering.

"Gue punya roti." Tanpa disuruh dia duduk di sebelahku sambil mengeluarkan sesuatu di saku celana. "Tapi nggak punya minumnya, kalo mau ambil nanti gantinya dua kali lipat."

Aku lapar sangat lapar.

Ganti roti dua kali lipat mudah bagiku, pabriknya pun mampu aku beli.

"Gue ambil." Aku menerimanya secepat itu pula merobek bungkusan roti isi cokelatnya, memasukkan ke mulut beringas.

Mengubur dalam namanya urat malu, si pangeran baik hati yang memberikan roti menatapku tak berkedip. Aku makan layaknya kerasukan dedemit.








***

Gak boleh sider
Jangan lupa votenya🌟
Tetap Next?

Bukan Antagonis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang