(24) Pemegang Rahasia

31.4K 5.1K 137
                                    

Selain makan berbelanja lah yang aku lakukan. Kali ini sendirian, tanpa dua asisten pribadi apalagi Namira dan Sena.

"Gaun tidur, make up, novel, sepatu olahraga." Disela berjalan di lantai dasar pusat perbelanjaan aku menyebut satu-satu yang sudah aku beli.

Paper bag memenuhi tangan, kalau ditanya apa pergelangan tanganku telah sembuh? Jawabannya iya, hanya menyisakan luka kering. Intinya aku perlu mencari salep, dan segala jenisnya yang dapat menghilangkan bekas luka.

Ganes?

Aku lebih sering di kelas akhir-akhir ini, membawa bekal dari rumah. Satu hari setelahnya, Namira bersama Sena kompak ikut membawa bekal.

Kami makan bersama di tengah kelas dengan kipas angin sebagai penyejuk menjauhkan dari hawa panas.

"Ck, ratu iblis!"

Cuma satu orang yang memanggilku dengan sebutan iblis. Buru-buru aku berjalan cepat, beberapa meter lagi tiba di pintu keluar Mall.

"Mau ke mana lo?!" Bersamaan suara Denis salah satu paper bag yang aku pegang Denis rampas.

Aku melotot marah. "Apaan sih enggak usah sok dekat, sok kenal. Gue hitung sampai tiga kalo lo nggak kasih tas itu maka l--"

"Diam!" Denis menyela, sebagai perempuan aku jelas takut apalagi aura suramnya menguar.

Mencoba mengontrol diri aku akan membalas, belum sempat mengancam menendang kembali masa depannya. Denis terlebih dahulu menarik tangan kiriku. Bukan tarikan kasar, yang pasti lebih ke tuntutan.

"Mau ke mana?!"

"Diam dulu!"

Aku berakhir di basement Mall, Denis mendorong badanku hingga berakhir di tembok. Apa aku takut? Tentu saja jawabannya iya, apalagi tempat ini agak gelap.

"Sakit tau!" Kubentak Denis tanpa berani memandangi wajah Denis, tanganku sibuk mengusap lengan kiri yang memerah.

Kenapa tokoh pria di cerita ini sangat kasar pada Freya. Aku harus sanggup menghadapinya, Freya asli saja bisa. Tapi sekarang mataku sudah berkaca-kaca.

Denis tiba-tiba menarik daguku, mau tak mau detik kedua aku dapat memandangi wajahnya yang jarang tersenyum tersebut.

"Siapa lo sebenarnya?" tanya Denis dingin.

Aku meneguk ludah, di bawah sana kaki telah gemetar hebat. Cukup Radit yang mengetahui bahwa di tubuh Freya, ditempati orang lain.

"Fr--Freya..."

"Lo emang Freya?"

"I--iya."

Denis semakin memajukan wajahnya, aku membuang muka. Bulu kuduk dibuat meremang apalagi merasakan deru napas Denis menyapu pipiku.

"Ganti pertanyaan."

Paper pag aku pegang jatuh mengenaskan di lantai.

"Kenapa lo bisa tau kalo gue pencandu? Dan gue bukan lah bungsu Ardinata. Cuma anak angkat menutupi bahwa anak bungsu yang sebenarnya meninggal saat dilahirkan," bisik Denis.

Tentu aku mengetahui semuanya melalui buku. Kalian adalah tokoh fiksi, sekarang pun aku masih meragukan ini nyata atau bunga tidur.

Setidaknya batinku meraung untuk mengatakan yang sebenarnya, kemungkinan dibalas Denis dengan gelak tawa atau bahkan Denis ringan tangan bersedia memukul tokoh antagonis yang tobat ini.

Perlu beberapa saat aku menjawab, Denis sabar menunggu. Kuatur napas, gerakan hati-hati mendorong badan Denis yang hampir menempel di badanku.

Aroma parfumnya benar-benar membuatku lupa ingatan. Aku tidak sudi terpesona atas garis muka Denis.

Bukan Antagonis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang