Sabda memasuki area pemakaman umum desa bersama Riska, lalu berhenti di salah satu tengah makam yang sepertinya tanahnya agak basah, makam itu dari jarak jauh pun dapat dilihat terawat baik.
Hati tertohok keras membaca nisannya. Duduk di sebrang, bergantian aku memandangi Sabda, Riska, dan makam di hadapan.
"Reya, aku tau ini terdengar aku menusuk kamu dari belakang tapi kami terpaksa," ujar Riska. "Aku harap kamu nggak marah." Setetes air bening jatuh membasahi pipi Riska.
"Alah, air mata buaya!" Nyinyiran Freya di sampingku memasuki relung pendengaran sambil tangan Freya terkepal hendak menonjok muka Riska sayangnya tembus.
Aku antara ingin menangis keras dan tertawa melihatnya.
"Makasih untuk baju batiknya. Ayah bilang kamu susah payah ke pasar bahkan tanpa izin ke Ayah, katanya habis itu kamu langsung kena omelan, kainnya kamu dapatnya penuh perjuangan. Belum lagi kamu jahit..." Benar-benar suara aku rindukan, suara berat Sabda. Wajah terukir senyum, senyuman aku artikan sebatas senyum bahwa Sabda berusaha menguatkan diri.
Aku bertopang dagu mengamati lekat Sabda yang memang banyak bicara, Sabda kalau kalem ada maunya.
Bola mataku beralih menatap Riska seakan giliran wanita beumur dua puluh enam tahun tersebut berbicara.
"Satu bulan setelah kepergian kamu, kami dijodohkan Freya, maaf. Aku tak bisa membantah orang tua sendiri ... mereka bilang umur kami sudah matang untuk menikah, aku mohon jangan salahkan Sabda."
Tersenyum pahit walaupun keduanya tak melihat, aku mengangguk. "Aku percaya sama kamu, apalagi waktu SMA aku pernah dilabrak kamu, Riska. Hm, mungkin kamu udah lupa waktu itu kamu kaya kebakaran jenggot pas dengar aku dan Sabda resmi pacaran."
Freya tertawa, tawanya tertular padaku. Jujur, Riska dan para dayangnya pernah melabrakku saat kelas dua SMA, di toilet sekolah.
Aku dihina habis-habisan, tanpa bisa melawan karena kalah jumlah.
Kemudian aku lihat Sabda dan Riska kompak terdiam, aku beranjak berjalan menuju Sabda lalu duduk di samping Sabda.
"Reya kangen banget sama Sabda..." Air mata tadinya berhenti kembali mengalir, dadaku dibuat sesak. Tangan gemetar aku meraba pipi Sabda yang harus kuterima pahit dengan kegagalan.
Aku hanyalah jiwa detik ini, jiwa diantara dua pilihan. Memasuki novel atau memilih pergi selamanya, opsi kedua mustahil karena aku telah berjanji pada Freya untuk mencari tau pembunuh Freya.
"Baju batiknya bagus banget di badan kamu. Jaga baik-baik ya, aku sampai larut malam buatnya loh ... Ayah juga sempat iri minta dibuatin." Aku berujar pedih.
Memandangi masam pada jari manis tangan kiri Sabda dan Riska. Cincin tunanganku dengan Sabda sepertinya Sabda lepaskan, lalu di ganti cincin yang lain, cincin itu lah memiliki kemiripan atas cincin di jari manis Riska.
Berikutnya aku memukul gemas bahu Sabda, sayangnya Sabda tidak kesakitan malah tetap bergeming pandangan lurus pada makam yang bertulisan nama lengkapku.
"Kau kira aku tidak sakit hati, hah?! Kenapa harus Riska?! Riska pernah merundung mantan calon istrimu ini, tidak ada kah perempuan lain!" seruku kesal.
Duduk lemas aku memeluk lutut. Bagaimana bisa aku melupakan Sabda jika kami selalu bersama semenjak balita, satu sekolah pun palingan beda kelas.
"Sabda, ini Reya! Kumohon lihat aku di samping kamu!" Tangis makin pecah, sudut mata melirik sekilas Freya cukup tenang. Syukurlah, Freya tidak seperti biasanya.
"Aku hampir lupa." Sabda mengeluarkan sesuatu dikantong besar sedari tadi terpegang. Buket bunga sakura Sabda letakkan di nisan, bunga kesukaanku.
Kalau ujungnya begini lebih baik aku mengamati mereka dari jarak jauh.
"Maaf, aku tidak bisa seperti bunga sakura yang melambangkan kesetiaan tapi kamu harus tau sampai kapanpun perasaan aku tetap lah ke kamu, Reya."
Fokus yang aku lihat bukan ke Sabda melainkan Riska, diam-diam buang muka dengan bibir manyun. Kentara ekspresinya muak dan penuh keterpaksaan, Freya bahkan kini mulai mengumpati.
"Buket bunganya pasti mahal." Walaupun hati nyeri aku tetap berbinar melihat kelopak merah mudanya, sungguh indah. "Terima kasih Sabda..." meremas tangan, aku melirik sekilas Freya. Tidak apa, Freya juga sepertinya bukan lagi anak di bawah umur.
Memajukan badan, memandangi tepat garis wajah Sabda di depanku sekarang. Sabda memang tak melihat apalagi sadar aku di sebelahnya, dua detik kemudian bibir pucatku bertemu bibirnya. Cukup lama, berharap banyak merasakan sesuatu.
"Aku sangat merindukanmu, dan maaf membuat kamu berakhir kecewa. Sabda, bersama siapapun kamu akhirnya ... berbahagia lah." Aku menyisakan jarak sejengkal, meniup pipi Sabda pelan.
Jika aku kembang desa, Sabda lah pangerannya. Semua orang tau itu, apalagi Sabda memiliki karakter yang baik dan membuat orang segan.
"Ngomong-ngomong aku menunggu Sabda versi mini, secepatnya lah menikah lalu punya anak." Mengatur napas yang bertambah sesak aku berdiri, Freya melakukan hal sama. Sebelah alisnya naik menungguku bicara.
"Boleh aku bertemu Ayah?"
"Bukannya itu yang kita sepakati, nggak usah tanya lagi. Ke sini."
Aku menggeleng. "Kita berdua jalan kaki, disuguhi pemandangan persawahan siapa yang menolaknya, aku cukup bosan di duniamu."
"Cih, seharusnya lo bersyukur diberikan kesempatan kedua. "
Terserah Freya saja, bicaraku selalu salah di matanya. Aku berbalik badan, kembali melanjutkan tujuan. Untuk kali ini aku tidak menoleh, meyakinkan diri karena ikhlas adalah jalan terbaik.
***
.
Rumah senderhana terpijak tetap lah sama. Barang-barang di dalam selalu diletakkan ke tempat semula, si pemilik rumah sangat rapi. Tidak menyukai hal berantakan.
"Ayah..." menebus pintu kamar Ayah, lagi-lagi kosong. Tidak ada siapapun, aku setengah berlari ke teras rumah sebelumnya aku masuk melalui halaman belakang.
Bahu bergetar, aku melangkah cepat ke pria berumur tersebut. Duduk di kursi rotan sedangkan di depannya secangkir kopi, sebelum aku duduk di sisi Ayah aku menatap cangkir itu kopinya masih penuh, tak ada asap mengepul.
"Bukan kah ... Ayah tidak suka kopi yang sudah mendingin. Lihat itu, kenapa malah melamun?" Beringsut, beralih aku bersimpuh di dekat kaki Ayah. Tangisku kesekian kali pecah, iri sekali perempuan di luar sana bisa kuat berbeda dengan seorang Freya Darsah, pipa matanya terlalu gampang bocor.
"Ayah, Reya pulang..." Jari-jari aku gigit, menahan untuk tak menangis keras. Ayah akan marah saat mengetahui anak perempuannya banjir oleh air mata.
"Ini Reya..." Kening menempel di lantai, posisiku lebih pantas disebut bersujud. Sungguh, hatiku sakit melihat semuanya.
Sebelumnya aku dengan jelas mendengar Ayah batuk, telapak tangan menutupi mulut seakan batuknya dapat mengganggu tetangga sekitar, membuat aku terpukul keras adalah ... darah segar memenuhi telapak tangan Ayah kemudian.
****
Ketiduran sampe lupa up😭 padahal targetnya udah tercapai. Maaf ya🙂 btw, Sabda gak jahat😍
Mau aku double up?
Rame komen, langsung gass!
Semoga suka☺
Tinggalkan vote atau komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya🌟
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Antagonis [END]
FantasyBagaimana jadinya kalau kamu memasuki tokoh antagonis? Bermaksud mengembalikan novel yang dipinjam ke perpustakaan desa, Freya bertemu dengan para bandit kampung yang nyaris memperkosanya. Freya yang lari memasuki hutan berakhir jatuh ke jurang. Fre...