(18) Pesta

34.8K 5.8K 170
                                        

Aula hotel mewah di ibu kota tersebut benar-benar dibuat sedemikian rupa yang diinginkan Lingga.

Anak laki-laki tersebut berdiri di atas panggung, di depannya kue ulang tahun setinggi perut Lingga. Lilin angka sembilan tahun terpampang.

Semua orang asik bertepuk tangan bersuka ria, para tamunya bukan kalangan biasa. Itu lah penyebabnya aku memilih agak menjaga jarak karena tak ingin merusak pestanya.

"Freya!"

Lamunanku buyar, menoleh ke sumber suara. Dua orang gadis mendekat dress couple melekat di tubuh elok Namira dan Sena.

Jujur, aku jadi iri. Gaun aku pakai terasa tak nyaman. Bukannya apa, gaun menutup tubuhku ini terlihat mencolok, ditambah Tante Uti mendukung katanya belum dipasarkan.

"Freya, kamu cantik."

"Elo ngapain di sini? Gak ke sana."

Namira dan Sena kompak berbicara, aku tersenyum tipis sengaja menggoyangkan piring plastik di tanganku berisi kue keju.

"Makasih, gue udah ke sana tadi  peniupan lilin pun di samping Lingga, setelah selesai gue minta izin ke Papa buat makan."

Keduanya nampak saling lirik, seolah bertelepati. Aku lihat ada kegelisahan di wajah Sena begitupula Namira yang sekilas tegang karena penasaran aku bertanya. "Kenapa? Pestanya bikin kalian kurang nyaman ya?"

Namira menggeleng cepat.

"Bukan, kalo gue bilang ini lo jangan marah ya maksudnya lo nggak boleh marah ke dia."

"Iya."

Aku jadi menebak-nebak ke mana arah pembicaraan hingga Namira menyebut satu nama disitulah aku pahami.

"Ganes."

"Emang kenapa Ganes?" tanyaku santai sambil menelan kue kejunya di mulut. Namira gugup, tangannya menyenggol siku Sena.

"Ganes datangnya sama Rayena, itu mereka..." ujar Sena gagap disusul telunjuknya mengarah ke pintu aula. Aku memutar kepala.

Sangat cocok!

Walaupun pakaian Yena biasa saja, di belakangnya seolah ada sinar terang berbeda dengan sosok jangkung Ganes. Biasanya dasi seragam Ganes jadikan sebagai ikat kepala, kini dasi pelengkap jas hitamnya sungguh elegan.

Ganes bahagia.

Senyuman tipis dibibirnya sedikit pun tak memudar.

Sayangnya senyuman Ganes tidak untukku. Setelah aku memberitahu soal kami yang dulu bersahabat baik saat TK, Ganes terkesan cuek. Dia sering membuang muka, sikap kasarnya berkurang.

Yang pasti Ganes menjauh, setiap kami berpapasan Ganes tidak sudi bersitatap muka denganku.

"Reya, lo beneran nggak papa?" Namira menepuk tangannya pelan, aku baik-baik saja itu aku tahu. Selama tidak mendekat ke mereka sekedar dua meter pun.

"Iya, gue ke Kak Radit dulu ya, kalian makan yang banyak mumpung gratis." Diakhir ucapan aku tertawa kaku, buru-buru aku menghampiri Radit sedang memotret para tamu undangan, menyalurkan hobinya.

Padahal sedikit lagi aku sampai di tempat Radit berdiri, namun seakan takdir tidak membiarkan terbebas dari orang-orang asing. Seorang pemuda berkemeja kotak-kotak menghentikan langkahku.

"Apa?!" Aku mendesis galak. Kalau orang menghalangiku kini aku kenali.

Seringai dibibir itu terukir jelas. "Lo masih ada hutang sama gue, rotinya belum diganti," jawab Ziyan kalem.

"Malam itu sebagian cemilan gue turun ke perut lo, jangan bilang lo lupa? Eh, sadar gue cuma lo kasih wafer." Emosiku tersulut, bukan hanya Radit yang sering membuatku emosi Ziyan pun padahal kami baru tiga kali bertemu, dan di pesta ini keempat kalinya.

Bukan Antagonis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang