"Gue udah pukul Ganes karena bikin lo celaka," ucap Radit pagi itu.
Aku bingung harus merespon bagaimana, pandangan mata memandangi lurus Ganes berjalan bersama Laskar menuju pagar rumah.
"Jadi kenapa lo pingsan?" tanya Radit.
Pertanyaan sama dengan Laskar dan kubalas hanya keterdiaman. Tidak mungkin kan aku jawab bahwa pingsan gara-gara Freya asli, dampak atas Freya di dekatku.
"Seharusnya lo jangan pukul Ganes, matanya bengkak." Aku berdecak kesal. Pantas saja saat sarapan tadi aku menangkap sudut mata Ganes membiru padahal lebam-lebam perkelahiannya dengan Ziyan masih belum sembuh.
"Lo tau orang kaya Ganes berkelahi adalah makanan penting baginya."
Jaket yang melapisi badan makin aku eratkan, benar kata Freya kalau sudah kami bertemu maka aku lebih cocok disebut mayat hidup.
Bibir pucat, telapak tangan berkeriput ditambah dingin layaknya es. Kalau ditanya Freya berada di mana? Freya seperti Laskar, mengantar Ganes pulang. Benar-benar bucin akut.
"Ini salah paham," sahutku.
"Salah paham?" Kening Radit berkerut, aku mengangguk cepat.
Radit seperti hendak mengorek informasi lebih banyak sebelum itu terjadi aku segera menarik kursi, menyuruh Laskar baru kembali untuk duduk.
"Ingat ya Laskar gue gak mau persahabatan kalian rusak apalagi kalo punya niat keluar dari Geng Dark," ujarku.
Laskar kaget. Tentu saja aku mengetahui karena tanpa sengaja mendengar pembicaraan keduanya dipagi buta bersitegang di kamar, berhasil merusak tidurku.
"Dasar saudara tiri menjijikkan."
Aku memutar bola mata, melirik Freya bersandar di pilar sambil bersedekap.
"Kenapa masih di sini?! Balik kamar, gue tau kok lo lagi cuci mata. Lebih gantengan juga Ganes."
Kesabaran yang tertumpuk rasanya mau tumpah, gatal sekali tangan mengebrak meja. Akhirnya aku berdiri, Laskar terus mengoceh yang di dengarkan Radit langsung terhenti.
"Ke mana?"
"Istirahat."
Mendapati Laskar mengiyakan buru-buru aku pamit walaupun realitanya cara berjalanku malah sempoyongan, kepala berdenyut sakit. Aku melirik Freya mengekori, memandangi polos.
"Perlu bantuan, tapi sayangnya gue nggak bisa megang lo, Kak Reya."
Sopannya. Aku tersenyum paksa, kedatangan Mbak Lia adalah penyelamat, wanita itu tanpa diminta menuntun menuju kamar. Freya di belakang terus mengomel, ujungnya bulu romaku dibuat berdiri.
***
"JANGAN SENYUM!" Freya berteriak keras. Teriakan Freya setidaknya mampu membuat suasana kamar bertambah dingin.
"Terima kasih, kepedulian kamu Freya seharusnya bukan cuma ke aku tapi ke orang lain juga." Aku bergantian menatap Freya dan kalung di laci meja, mengambilnya. Aku lalu meletakkan di meja belajar.
Freya terdiam.
Lekat-lekat aku amati kalung perak berbandul capung.
"Terus ini diapain?"
"Dasar bego!"
Mulut Freya sungguh puas nyinyir.
"Aku nggak bego, kita punya kesamaan. Kamu selalu juara umum begitupula aku. Aku bahkan dapat beasiswa di kota."
"Yang udah lalu nggak usah diingat lagi. Hidup lo sekarang sebagai seorang Freya Lovely Astagina bukan Freya Darsah, wanita kampungan!"
Bibirku tertutup rapat. Apa iya aku harus melupakan kehidupan sebelumnya, melupakan Ayah dan Sabda. Membayangkannya saja aku nelangsa.
"Airnya udah siap, tinggal tetesin darah lo ke air itu," ujar Freya.
Dalam kebingungan aku mendekatkan gelas ke hadapan, Freya menepuk kotak kecil bening berisi jarum pentol. Aku paham, mengambil satu.
"Tusukin jarum itu ke salah satu jari lo, semuanya juga boleh!"
"Ini semacam penangkal?"
"Ck, jangan banyak tanya!"
Patuh. Jarumnya kemudian aku tusukkan sebentar di jari kelingking, sengaja menekan. Darah menetes perlahan ke air di gelas.
"Udah?"
"Lebih banyak."
"Kamu sengaja bikin aku mati."
"Terserah."
Baiklah, aku tidak akan bertanya pada Freya kecuali Freya sendiri yang mengatakannya.
Kalung perak berbandul capung itu aku masukkan ke dalam gelas air bercampur darah. Sebelumnya Freya berujar ini satu-satunya agar badanku tak melemah lagi soal berdekatan dengan Freya, saling memeluk pun aku dipastikan tidak tumbang.
"Ambil, diliatin itu kalung mustahil jadi emas!" Freya mengeram kesal.
Gerakan secepat kilat aku mencelupkan tangan, bodo amat itu mulut Freya tambah julid.
Karena ini kalung tentu saja terletak di leher, aku bangkit dari kursi. Menuju meja rias, Saat sudah berdiri berhadapan dengan cermin, Freya telah berubah wujud jadi capung hitam.
"Cantik, makasih Freya." Selesai mengaitkannya aku memandangi capung hitam itu terbang lalu mendarat di atas bahuku.
"Semuanya nggak gratis." Seperti biasa sayap capungnya selalu bergerak jika Freya berbicara.
"Maksud kamu?" Freya tak berbohong, kamar tadinya dingin mulai berangsur membaik. Bersuhu normal, napasku sesekali tersengal mulai menghilang.
"Gue mau bawa lo suatu tempat."
"Ke mana?"
"Mimpi, Kak Freya."
"Apa nanti aku bakal mati?"
"Dasar bodoh, nggak bisa bedain antara mimpi dan mati."
Aku mendengus kuat, kembali aku maklumi. Kalau memang iya Freya mengajakku ke alam mimpi, sebelum itu aku mengunci pintu kamar dan memastikan jendela tertutup rapat, gordennya tidak aku biarkan terbuka sedikit pun. Begitupula pendingin ruangan bersuhu normal.
"Mimpinya tentang apa?" tanyaku penasaran.
"Mimpi ini akan menjadi sebagian ingatan di kepala lo, gue ikhlas memberikannya."
"Bukan itu, Freya. Mak--"
"Ucapkan terima kasih terus diam!" Freya menyela. Aku pasrah, menjatuhkan badan ke kasur. Pandangan lurus pada langit-langit kamar yang penuh gantungan dan stiker bernuansa cakrawala malam.
Entahlah apa yang Freya lakukan tapi kelopak mata memberat, malam itu Freya seolah punya kuasa di alam bawah sadarku. Mimpi Freya maksud, adalah mimpi yang sangat buruk.
****
Mood aku lagi-lagi buruk :") jadi nulis partnya pendek.
Part selanjutnya tentang mimpi Freya☺
Tinggalkan vote atau komen. Vote udah bikin aku semangat lanjutin ceritanya🌟
Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Antagonis [END]
FantasyBagaimana jadinya kalau kamu memasuki tokoh antagonis? Bermaksud mengembalikan novel yang dipinjam ke perpustakaan desa, Freya bertemu dengan para bandit kampung yang nyaris memperkosanya. Freya yang lari memasuki hutan berakhir jatuh ke jurang. Fre...