(39) Janji

27.2K 4.9K 762
                                        

Malam harinya, aku tidak menahan diri untuk tidak kaget kedatangan dua orang yang terasa tak asing di mata publik. Dua anak pembisnis, berbeda karakter ... kecuali satu, ringan tangan dalam bersikap kasar.

Jika Denis berjalan melewati brankarku berbeda dengan Ganes. Akhirnya Ganes punya keberanian datang. Kusimpulkan urat malu Ganes putus! Bibir manyun, aku agak kesal Papa semringah menyambut Ganes.

Ganes mendekat dan Papa di sampingnya.

"Reya, Ganes mau minta maaf!" ujar Papa tersenyum. Aku balas memandangi manik biru Ganes, kenapa aku justru merasakan ada keterpaksaan dimatanya.

Keturunan Maherta anti minta maaf duluan.

"Gue khawatir sama lo," katanya.

Aku bingung harus merepon Ganes hingga Papa izin keluar kamar perawatanku sekedar aku iyakan singkat. Ganes menarik kursi, duduk di sisi ranjang.

"Yena juga minta maaf, kaki Yena nggak sengaja ke senggol rak sampai jatuh. Yena udah mau jelasin tapi sebelum itu dia terlebih dulu pingsan."

"Kenapa lo terima tawaran Papa untuk makan malam bersama setelah gue sembuh?"

Mengabaikan permintaan maaf Ganes, aku mengalihkan pembicaraan. Ganes yang sadar itu terlihat tidak peduli. Detik ketiga aku melihat Ganes mengukir senyum.

"Bukannya ini yang dulu lo mau?"

Aku tertawa pelan. Seandainya Ganes tidak melakukan kesalahan aku mungkin akan sedikit senang, tapi ini rasa kesal menguar jelas.

"Terserah!" sahutku ketus sambil buang muka. Mengamati Laskar dan Denis sibuk bermain gim di ponsel. Radit? Radit telah pulang satu jam lalu sampai kini aku masih tidak menyangka aku tak sendirian di sini.

Radit juga mengalaminya, bedanya nama Radit di kehidupan sebelumnya Rian dan Rian adalah adikku.

"Gue harap lo nggak benci gue, Reya. Lo sahabat pertama gue. Kita udah saling janji."

Aku menghela napas. Kenapa baru sekarang Ganes berkata seperti itu, fokusku cuma satu mencari tau siapa pembunuh Freya, memberikan racun ke minuman Freya. Wajar, aku juga mencurigai Ganes.

"Banyak di luar sana mengingkari janji, jangan berjanji jika akhirnya justru menyakti." Duduk bersila, aku menghadap Ganes. "Lo cinta Yena, kan? Kalau Yena liat lo datang ke kamar ini Yena pasti cemburu..."

Ganes tiba-tiba berdiri, sengaja menghapus jarak dan aku memasang badan waspada.

"Percaya sama gue. Yena nggak akan cemburu, Yena paham kita berdua cuma temenan."

"Terus buat apa Yena membenturkan dirinya ke rak, Yena gebetan lo itu serigala berbulu domba. Gue gak nyangka Yena buka topengnya akhirnya!"

Tentu Ganes marah, jemarinya terkepal kuat bersamaan manik birunya membalas tatapanku tak kalah tajam, aku menyeringai lebar, mengubur dalam ketakutan.

Ganes ternyata tidak suka aku menjelekkan Yena. Benar-benar tokoh utama sejati!

"Tempat ini pengap."

"Hah?"

Sebelah alisku naik saat Ganes berjalan menghampiri Laskar dan Denis, dugaan salah. Ganes mengambil kursi roda di dekat jendela, refleks aku melotot. Jangan bilang Ganes berencana membawaku keluar kamar.

"Ini udah malam."

Segera aku menghentikan Ganes hendak mengambil botol infus dari tiangnya kemudian.

"Taman belakang rumah sakit di sini banyak lentera, lo pasti suka."

Menyebalkan! Sebelum Ganes berniat menggendongku aku menurunkan kaki, setelah sudah menegakkan badan dengan kesal aku duduk di kursi roda.

Bukan Antagonis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang