(37) Adik

28.5K 5.1K 313
                                        

Bunyi yang memenuhi relung pendengaran terdengar samar, sebelumnya telinga melengking sesaat.

Pergelangan tangan dapat aku rasakan memberat, entahlah apa yang Freya lakukan di makam sore itu, saat aku menangis. Terakhir Freya menutup mataku dengan telapak tangannya yang bercahaya.

"Akhirnya anak Mama bangun!" Suara lembut tersebut mampu membuat hatiku menghangat.

Anak mama?

Jika di kehidupan pertama aku tidak mencicipi kasih sayang seorang ibu maka di kehidupan ini keberuntungan datang.

Pertama, ketika aku membuka kelopak mata ibu sambungku tersebut yang memasang wajah lega bercampur khawatir. Seorang dokter kemudian memeriksa keadaanku sebentar.

"Ada bagian yang sakit, Nona Freya?" tanya dokter wanita itu seraya melepaskan masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutku.

"Kak Radit..." Sungguh, aku hanya ingin bertemu pemuda jarang menampilkan eskpresi itu kini. Dokternya tampak terkejut, menatap Mama meminta penjelasan.

"Radit baru aja pulang, Reya. Nanti malam Radit bakal datang lagi," sahut Mama.

Pulang?

Bagiku terlalu lama jika menunggu, melewati kode bibir tanpa suara aku menyuruh Mama mendekat ke sisi ranjang.

"Kamu benar-benar ingin bertemu Kak Radit?" Sebelum menarik kursi Mama lebih dulu berbicara sebentar pada Dokter, mengucapkan terima kasih lalu duduk di kursi setelah Dokter pergi.

Tangan Mama mengusap rambut pirangku, binaran matanya benar-benar tulus. Ya, semenjak aku meminta izin untuk memanggilnya Mama, kami dekat. Semuanya mengalir begitu saja, tanpa hadir lagi kecanggungan.

"Berapa hari Reya tidur?" tanyaku serak.

"Kamu bukan tidur tapi kritis." Mama menyahut lirih. "Maafin Papa kamu ya, Papa masih di luar negeri belum bisa pulang. Katanya Papa pulang besok."

Aku tersenyum maklum, Papa termasuk tipe kepala keluarga yang gila kerja.

"Reya maunya Kak Radit ke sini sekarang bukan nanti malam!" tuturku seraya memegang punggung tangan Mama. Kuharap Mama luluh menghubungi anak sulungnya tersebut untuk kembali ke rumah sakit.

Mama melempar pandangan bingung aku semakin gentar memohon bahkan tanganku terulur mengambil tas di nakas samping ranjang.

"Kamu perlu istirahat. Jangan terlalu bergerak." Mama mengambil lebih dulu tasnya. "Laskar, jemput Kakak kamu!" sambung Mama tegas, arah pandang Mama ke sudut ruangan.

Aku kaget tidak menduga di kamar luas ini ada Laskar, sedikit mengangkat kepala aku mendapati memang ada Laskar di sana, sedang rebahan seraya memainkan ponselnya.

Berarti Laskar asik mendengarkan.

Pipi bersemu, aku meremas selimut. Rasa malu menguar apalagi Laskar kemudian bangkit, berjalan malas menghampiriku dan Mama.

"Duit," kata Laskar.

"Untuk apa?" Pertanyaan Mama mewakili kebingunganku.

"Bicara sama Bang Radit itu butuh tenaga jadi aku butuh duit." Laskar menjawab lempeng. Aku terbatuk antara geli dan kasian pada Laskar.

Kalau pun Radit dan Laskar tinggal seatap mereka termasuk jarang berbicara, mengobrol bertukar cerita. Misalnya membahas gebetan atau hobi, Radit lebih banyak menghabiskan waktu di kamar sedangkan Laskar di rumah rumah, mencari kesenangan. Dua sisi berlawanan.

"Ck, ngapain sih lo bangun-bangun langsung manggil si penguin kutub itu." Laskar berujar ketus, memandangiku sembari bersedekap.

Aku melirik Laskar sekilas. "Bukan urusan lo, intinya gue pengen Kak Radit di sini. Di kamar perawatan gue anti monyet ekor panjang."

Bukan Antagonis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang