Radit duduk bersila tenang di atas pahanya ada laptop, jemarinya bergerak lincah di keyboard tanpa menunggu lama Radit berhasil merentas CCTV tempat perundungan Rayena yang aku beritahu.
Untung dinovel sedikit dijelaskan bahwa Radit adalah seorang hacker handal, dia berperan penting mengetahui tempat lokasi Yena diculik oleh suruhan Freya menjelang akhir cerita.
"Lo liat kan bukan gue yang buat Yena-mu itu pingsan!" Sengaja, aku menyindir Denis yang langsung bungkam. Bola matanya berfokus pada layar dimana empat senior itu menyeret Yena lalu menyiramnya habis-habisan.
Tapi tetap ada aku sih dilayar yang sebelumnya berjongkok dan berbisik ke Yena, berharap banyak dia melawan. Kenapa coba si penulis bikin tokoh protagonis lemah banget, sekali senggol, tumbang.
"Ucapin apa lo pada Yena sampai gemetar gitu!" Manik kelabu Denis melirikku sinis, ternyata matanya jeli juga.
"Urusan perempuan, kenapa lo kepo? Tenang aja gue nggak apa-apain Yena lo itu, lagian gue udah berubah ... gue dapat hidayah dari kejadian balok kayu salah sasaran. Cih, kaum adam di dunia ini banyak, nggak cuma Ganes!" ujarku ikut emosi.
Denis masih mencengkeram lenganku padahal sudah aku kode untuk dilepaskan, apa dia cari kesempatan? Tak tahan lagi, aku menunduk sambil menarik paksa sebelah tangannya, kuhunuskan gigi vampirku di telapak tangan Denis.
"Arghh, sialan! Dasar iblis, lepasin gue bego!" Giliran Denis yang teriak aku makin semangat memberikan jejak luka di tangannya.
Salah Denis karena telah membuat lengan mulus yang aku jaga memerah. Mulutnya itu beneran toxic, pantas cintanya pada Yena bertepuk sebelah tangan.
"Reya, sabar!" Namira maju, membantu Denis menjauh dariku. Tidak aku biarkan, bar-bar yang ditahan akhirnya berkibar kakiku terayun lalu menendang milik Denis yang kedua kali di balik celana Denis. Anggap saja itu hobi, harus aku buat Denis trauma berurusan dengan seorang Freya Lovely Astagina.
"Dasar cowok sampah!" Puas menghasilkan karya, aku mendorong kepala Denis. Bodo amat besok nanti dia membalas ditambah Fia dan gengnya.
Segera aku menarik Radit yang sedang memasukkan kembali laptopnya ke tas, membatalkan niatku yang menumpang pulang di mobil Namira.
Lebih baik aku nebeng di motor Radit saja.
"Kak Radit, gue pengen pulang sama lo. Boleh, kan? Kalo nggak boleh gue paksa." Aku terus berjalan lurus tanpa memandangi wajahnya.
Pagi hari biasanya Radit selalu memanaskan motor, jika Laskar pakai mobil sport maka berbeda dengan Radit memilih motor. Di bagasi ada dua mobil yang menganggur, satu milikku dan satunya milik Radit.
Aku tak tau alasan Radit tidak menyentuhnya, untuk aku sendiri adalah tak bisa menyetir.
"Serius?" Suara serak memenuhi relung pendengaranku, pelan nyaris seperti bisikan.
Akhirnya Radit bersuara bahkan dalam keadaan aku mengapit lengannya. Kami sekarang layaknya kakak-adik, mungkin ini terlihat canggung tapi aku berusaha bermuka tebal.
"Iya, boleh ya gue nebeng ke motor lo?" tanyaku cemas. Muka tebal ini bisa runtuh jika aku dapat penolakan.
Detik ketiga senyumanku kembali merekah sempurna, respon Radit berupa anggukan cukup bahwa dia setuju. Berjalan lebih dulu memasuki parkiran motor yang sepi, aku mengekorinya di belakang.
"Jadi gini rasanya punya Kakak." Jujur ya aku merasa dilindungi, walaupun tak ada yang berniat jahat karena sebenarnya di kehidupan sebelumnya aku berharap memiliki saudara.
Saatnya memperbaiki yang memang harus diperbaiki. Aku mengeluarkan jaket dari tas, kemudian mengikatnya di bagian pinggang menutupi paha, motornya udah mirip motor balap.
"Kak Radit."
Radit menoleh, tangannya berhenti memasang helm di kepala. Aku menelan saliva, agak gentar.
"Aku ... minta maaf, selama ini sikap aku keterlaluan sama kalian apalagi ke Tante Resti, Mamanya Kak Radit. Aku cuma butuh waktu untuk nerima kalian, semuanya terlalu tiba-tiba," lanjutku melirih.
Radit bergeming, menatap lurus diriku. Sama sekali tak berkedip, beruntung setelahnya aku senggol motornya barulah dia kembali bergerak.
Perjalanan pulang benar-benar canggung, motor yang belum memasuki halaman rumah pun aku sudah melompat turun, berlari terbirit-birit dengan pipi merah padam.
***
Namira tertawa di sebrang sana, menceritakan tanpa henti bagaimana ekspresi Denis yang kesakitan. Jalan pun layaknya orang yang baru bersunat atas karya bar-bar seorang Freya Lovely Astagina tadi siang.
Aku bertopang dagu mendengarkan, sebelah tangan memperbaiki letak sandaran ponsel di bantal.
Niatnya aku pengen tidur habis hujan gini, enaknya rebahan bergelung selimut. Bulu roma ditubuhku beberapa kali berdiri karena kedinginan.
"Katanya Denis bakal balas dendam sama lo, Reya. Besok lo enggak usah sekolah, alasan sakit gitu."
"Bilang ke Denis boleh aja balas dendam sebelum itu gue tendang masa depannya sampai retak."
Namira terkekeh geli, mukanya maju ke layar hingga aku bisa melihat sudut matanya berair saking lamanya tertawa.
"Lo beneran berubah, serius! Aneh itu balok kayu salah sasaran bikin Freya yang dingin dan judes beralih sehangat mentari." Namira lalu berbinar. "Tapi gue bahagia, lo manggil Kak Radit biar terbebas dari Denis, itu keren. Jangan benci Kak Radit dan Kak Radit adalah gebetan seorang putri Namira."
Aku berdecak, kayaknya aku belum cerita soal dua tokoh yang terbebas dari tangan kotor Freya. Pertama, tokoh utama pria yaitu Ganes cinta mati Freya. Kedua, Namira yang tulus bersahabat dengannya.
Sena?
Dijelaskan dalam novel Sena terlampau malu, perlahan menjauh termasuk meminta pada kepala sekolah di tahun terakhir di Aurora ingin sekelas bersama Yena, Freya tau itu marah besar. Merasa dikhianati, Freya kemudian merusak muka Sena menggunakan air keras.
Tentu, dibantu tangan kanannya. Freya hanya berperan sebagai pengamat.
"Freya, ucapan gue ada yang salah? Gue beneran minta maaf, lo jangan marah ya gue suka sama Kak Radit, suka doang kok. Gak cinta!"
Aku menggeleng. Lagian mana mampu Namira memecahkan balok es semacam Radit, kakak tiriku tersebut. Yang ada hasilnya, Namira malah sakit hati.
"Gue nggak peduli mau lo suka atau cinta sama Kak Radit, kenapa gue perlu marah? Buang-buang tenaga," sahutku.
Namira bertepuk tangan kentara air mukanya euforia. "Berarti lo dukung gue!"
Aku mengiyakan malas sebelum Namira berceloteh berganti membahas Radit, sambungan video call kuputuskan secara sepihak bersamaan setelanya aku menangkap pintu kamar diketuk.
Ketukannya kasar bahkan lebih pantas disebut gedoran.
"Papa." Satu kata melintas dikepala. Aku turun dari ranjang, sepertinya Papa marah besar. Apa alasannya?
Brak
Pintunya rusak kemudian terbanting ke lantai.
Padahal aku belum menyentuh knop, nyaris saja pintu terbuat kayu jati itu mengenai tubuh. Jangan lupakan wajah yang aku jaga sepenuh hati.
***
Jangan lupa vote dan komennya ya🌟 Terima kasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Antagonis [END]
FantasyBagaimana jadinya kalau kamu memasuki tokoh antagonis? Bermaksud mengembalikan novel yang dipinjam ke perpustakaan desa, Freya bertemu dengan para bandit kampung yang nyaris memperkosanya. Freya yang lari memasuki hutan berakhir jatuh ke jurang. Fre...