Aku tidak akan pernah melupakan kejadian dua hari lalu di paksa Papa minta maaf. Bukannya menerima uluran tanganku Ganes malah berbalik, keluar dari ruangan.
Aku yang justru di salahkan dan Papa kecewa, mengingatnya berakhir membuat sakit hati. Melupakan adalah pilihan terbaik!
Menempelkan pipi di jendela mobil, mengamati jalan raya yang cukup ramai.
Hari ini aku sudah diperbolehkan pulang, jalan trotoar di isi para penjalan kaki yang sepertinya pekerja kantoran. Aku tebak, waktunya makan siang.
"Oke, kalo nanti ketemu Ziyan kamu harus minta maaf." Bergumam yakin, berjanji pada diri sendiri. Rasanya aku salah meluapkan kekesalan pada Ziyan.
Ziyan tidak salah apa-apa, hak Ziyan untuk dekat dengan siapapun. Pemuda jangkung bermanik gelap tersebut tidak mengenal Yena wajar, mereka beda sekolah. Yena terus menempeli Ganes apalagi Yena pasti tau, pemimpin Aster adalah musuh calon pacarnya.
Bisa jadi jalan cerita yang telah hancur memperlambat perkenalan mereka.
Aku melirik di jok depan Pak Toyo dan Mbak Lia, tidak ada namanya saling mengobrol. Dipikiran sekarang adalah adanya Papa di rumah, berbeda dengan Mama yang siang ini jadwalnya mengisi kelas. Ibu sambungku tersebut wanita karir, bekerja sebagai dosen.
"Hm, Pak..." Menempelkan kepala di kursi kemudi aku lalu berbisik pada Pak Toyo. "Putar balik, terus belok kanan. Aku mau ke kafe perempatan Aurora."
Mbak Lia sedang sibuk dengan ponsel menoleh, mata bundarnya melotot sebentar.
"Maaf, Nona. Sebelumnya Tuan Astar berpesan pada saya langsung mengantarkan Nona pulang!" ujar Mbak Lia dibumbui nada suaranya yang tegas.
Dengan senyum aku mengibaskan rambut. "Kalian diam, Papa nggak akan tau. Please, ini penting soalnya." Aku berdehem, balas menatap Mbak Lia. "Kan, kerjanya di aku bukan Papa."
Mbak Lia di landa kegelisahan, aku terus menoel bahu Pak Toyo hingga pria paruh baya itu fokusnya terpecah.
"Penting banget saking pentingnya untuk hari besok kemungkinan udah nggak bisa, bentar lagi juga Reya ujian."
"Kalian cukup diam di mobil cuma pengen beli minuman boba milk tea, katanya enak di kafe deket sekolah."
Mbak Lia pasrah, Pak Toyo menurut patuh segera memutar setir. Aku kembali menempelkan pipi ke kaca mobil sembari bergumam menyebut nama Freya. Kuharap Freya datang, semenjak aku membuka mata Freya tidak pernah muncul.
***
Pandangan menyapu latar kafe, aku berdecak kagum. Biasanya tempat ini hanya dapat aku lihat dari layar televisi. Tempat ini identik nongkrong remaja.
Duduk di dekat jendela membuka buku menu, waiter datang memasang senyum ramah. Saatnya aku bereaksi.
"Desain kafenya bagus, kekinian. Kalau boleh tau tempat ini bisa nggak ya menerima katering ulang tahun?" tanyaku.
Perempuan bercelemek merah maroon tersebut mengangguk cepat. "Tentu bisa, nanti kamu tinggal lihat caranya di website kami atau ingin turun tangan dapat bertemu pihak manajemen."
Tertawa pelan, ternyata sungguh ribet. Aku anti membuang waktu lebih baik langsung pembicaraan utama.
"Kafe Aurora ini punya ruangan CCTV kan, Mbak?"
"Punya."
"Boleh saya ke sana."
Bangkit dari kursi aku mencoba menebak ruangan CCTV kafe Aurora, awalnya aku kaget tidak menyangka kafe ini di samakan dengan nama sekolah. Sepertinya banyak murid yang menghabiskan waktu luangnya di sini boleh jadi si pemilik terispirasi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Antagonis [END]
FantasyBagaimana jadinya kalau kamu memasuki tokoh antagonis? Bermaksud mengembalikan novel yang dipinjam ke perpustakaan desa, Freya bertemu dengan para bandit kampung yang nyaris memperkosanya. Freya yang lari memasuki hutan berakhir jatuh ke jurang. Fre...