(17) Persiapan Ultah Lingga

35.4K 5.7K 188
                                    

Di sore hari aku keluar kamar dengan wajah masam, bagaimana tidak pintu kamar di ketuk keras dan pelakunya adalah Laskar.

Mentang-mentang sekarang berubah jadi adik penurut Laskar bersikap sesukanya, pikiranku masih sama. Bercabang-cabang, tentang Ganes dan Freya asli. Plot cerita yang sepertinya berhasil aku hancurkan, di mana aku tobat merundung Yena itu salah.

Yena malah dibully senior, terlebih gengnya Fia. Fia sendiri tidak ada tanda-tanda membalas tindakanku yang menyiramnya dengan air got.

"Kenapa?!" Aku memasang muka galak, Laskar bersedekap. Jangan lupakan di belakangnya ada Radit, sumpah ya Radit itu udah mirip pengawal Laskar. Di sini itu jadi sulung Radit bukannya Laskar.

"Enak banget lo tidur."

"Oh, mau main drama bawang putih dan bawang merah nanti aja. Gue lagi kantuk." Sengaja aku menguap di depan Laskar. Laskar menutup mulutnya sedangkan aku kemudian terkekeh geli.

"Mulut lo bau, anjir! Bau naga!"

"Tadi pagi gue makan ayam geprek."

"Seharusnya jangan di makan, anjir. Lo kan penyakitan."

"Mag bukan penyakitan, bego!"

Aku ikut emosi, kurang ajar mulut Laskar! Tanganku hendak menjambak rambut Laskar terhenti mendengar deheman Radit.

Sebenarnya mau mereka itu apa? Termasuk Radit, kalau bicara setengah-tengah.

"Dua hari lagi Lingga ulang tahun, Papa nyuruh lo turun untuk mengukur gaunnya. Mama juga udah di sana," ujar Radit.

Aku mengiyakan singkat, soal itu tentu tahu. Di ulang tahun Lingga lah nanti Yena bertemu Ziyan, si tokoh second lead. Keluarga Ziyan dihormati, berpengaruh dalam bisnis otomotif.

Sebenarnya Yena tidak diundang, tapi Ganes lah menggandeng Yena sebagai kekasihnya dan itu penyebab Freya asli marah besar hingga meja dibantingnya berakhir ulang tahun Lingga gagal total.

Freya mempermalukan keluarga Astagina.

Status Freya sebagai cucu perempuan satu-satunya di Astagina perbuatannya termaafkan.

"Malah melamun!" Laskar gemas berjalan ke belakang tubuhku lalu mendorongnya pelan. Aku mendelik walaupun begitu tetap melangkah.

Dengan rambut acak-acakan aku menuruni tangga, Radit di depan memimpin.

Papa kaget dan aku cuma bisa tersenyum. Maklum saja Papa masih tak menyangka perubahanku yang secepat ini, cukup bilang saja pada si balok kayu karena telah membuat anak perempuan cantiknya memiliki hati seputih salju.

"Freya, sini!"

Aku menghampiri Tante Uti, perempuan berumur tiga puluh tahun tersebut bekerja sebagai desainer. Karya atas tangan Tante Uti dan karyawannya wajib diberikan acungan jempol.

Pandangan mataku jatuh pada ibu sambungku duduk diam di sofa sambil menunduk, tangannya nampak gemetar memilah gaun yang sudah jadi.

"Tante tolong ukur Mama juga, gaunnya harus brand."

Hening.

Dua karyawan dibawa Tante Uti tengah asik berbicara dengan Lingga pun terdiam, begitupula Papa langsung menoleh, matanya bahkan berkaca-kaca ... tepatnya semua orang di ruang tamu ini melihat ke arahku.

Laskar membuang muka saat aku meliriknya di sofa, tapi kentara raut wajahnya terkejut. Radit sedang di ukur pinggangnya dapat aku lihat bibirnya mengukir senyuman.

"Tante Resti nggak ada yang salah kan kalo aku mulai detik ini manggil Tante dengan sebutan Mama?" tanyaku terhadap ibu sambungku itu yang membalas tatapanku tak percaya.

Bukan Antagonis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang